Bahasa Indonesia
Body count rises to sixteen at controversial Batang Toru dam in Indonesia after tunnel collapses.
This latest tragedy during the construction of the Batang Toru hydroelectric dam, brings the number of workers and families killed, in less than two years, to sixteen. In the latest incident on Sunday (21st August 2022) a Chinese construction worker was crushed when part of a tunnel collapsed.
Responding to this latest tragedy, Amanda Hurowitz, Mighty Earth’s Senior Program Director for Southeast Asia said:
“Our thoughts are with the family and co-workers of the latest victim to lose his life in such tragic circumstances. But the question is: How many more lives are going to be lost, or workers injured, in the construction of this ill-conceived and unnecessary dam before the project is stopped in its tracks?”
“The Batang Toru ecosystem is wholly unsuitable for this project. This dam is located in a highly sensitive area, home to the Tapanuli orangutan, the world’s most endangered Great Ape. Repeated landslides have killed fifteen individuals, and now a tunnel collapse has claimed yet another life. It seems like this project is just cursed, and it’s time for its backers to cut their losses.”
“This project has recently been bought for $277mn by China’s State Development and Investment Corporation. The Chinese government involvement conflicts with China’s role as the host of the Convention on Biological Diversity later this year. The optics for China on this one are bad. It can’t claim to the world to be protecting biodiversity if it pushes ahead with this dam, threatening a whole species of orangutan with extinction. We hope that China will instead use its influence to protect Batang Toru and its iconic wildlife, as part of its many efforts to support an ecologically harmonious civilization. Changing the direction of this project would show China is serious about realizing its commitments to Nature and climate.”
Background
- This ill-conceived Chinese backed Indonesian dam project came to worldwide attention in 2017 when scientists identified a new species of great ape living in the forests of Batang Toru. The Tapanuli Orangutan, numbering only 800, is the most endangered species of ape in the world. The dam and associated infrastructure by bisecting their habitat threatens their very existence.[i]
- Analysis of predicted electricity demand in the region has shown that the electricity that would be produced by the dam may not even be needed. [ii]
- This project has become a risky bet for major financiers. Multilateral development banks such as the International Finance Corporation (IFC) have also pulled out of the project[iii], as have private investment banks like Goldman Sachs.[iv] The Asian Infrastructure Development Bank has declined to finance the project. And, the Bank of China has suspended its involvement.[v]
- The Tapanuli orangutan faces other threats associated with habitat loss, including land clearing associated with the Martabe gold mine, owned, and operated by companies linked with to Astra Agro Lestari and British conglomerate Jardines Matheson.[vi]
—
- https://news.mongabay.com/2019/02/what-does-it-take-to-discover-a-new-great-ape-species/; https://www.mightyearth.org/2019/03/07/batang-toru/
Perusahaan Kertas Korea menjarah hutan hujan terakhir sembari mengklaim operasinya ramah lingkungan
Setahun Investigasi mengungkap deforestasi di rantai pasok kertas dan bubur kertas
Merauke, Papua, Indonesia (15 Maret, 2022) — Sebuah Investigasi terbaru dikeluarkan hari ini oleh Environmental Paper Network (EPN), Mighty Earth, Pusaka, Solutions for Our Climate (SFOC), Korean Federation for Environmental Movement (KFEM) and Advocates for Public Interest Law (APIL) merincikan perusakan hutan alami di provinsi terpencil tanah Papua, Indonesia. Surga dari keanekaragaman hayati, budaya masyarakat adat, dan tangkapan karbon ini sedang dihancurkan untuk memproduksi serpihan kayu pembuatan kertas yang dicap sebagai produk yang lestari dan beretika kepada konsumen di seluruh dunia.
Moorim Paper, perusahaan Korea Selatan, melalui anak perusahaannya, PT Plasma Nutfah Marind Papua (PT PNMP) telah membabat lebih dari enam ribu hektar hutan antara tahun 2015 dan 2021. Dengan luas 64.000 hektar yang mereka kelola, dan akan lebih banyak hutan yang terancam dibabat di tahun-tahun mendatang.
Di antara tuntutan dari penyelidikan, koalisi menyerukan Moorim agar berkomitmen di publik untuk segera melakukan moratorium terhadap pembukaan hutan lebih lanjut, sambil menunggu analisis menyeluruh nilai-nilai lingkungan dan sosial yang harus dilindungi; mengadopsi dan melaksanakan kebijakan Tanpa Deforestasi Tanpa Pembukaan Gambut, Tanpa Eksploitasi (No Deforestation No Peat No Exploitation - NDPE), termasuk di dalamnya Nilai Konservasi Tinggi - Nilai Stok Karbon Tinggi (HCV-HCSA); dan pemulihan wilayah yang telah dirusak, juga memulihkan hak-hak masyarakat adat yang telah diabaikan. Selain itu, koalisi mendesak Forest Stewardship Council (FSC) untuk melakukan penyelidikan penuh atas masalah ini untuk menjaga integritas sertifikasi FSC.
Hutan hujan Papua adalah surga keanekaragaman hayati yang otentik, rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna yang unik di bumi, terutama di daerah tempat perusahaan berada merupakan habitat kanguru pohon dan kasuari, dengan banyak spesies yang masih harus ditemukan dan dikatalogkan, dan yang lain dikategorikan sebagai spesies terancam dalam Daftar Merah IUCN.
Sampai saat ini, hutan alam di provinsi terpencil di Indonesia ini relatif masih utuh. Namun, gelombang perkebunan industri telah mengoyak wilayah tersebut, merusak seluruh ekosistem serta tanah masyarakat adat untuk menghasilkan komoditas di pasar global. “Kertas dijual secara global sebagai pengganti plastik yang katanya ramah lingkungan, namun ternyata masih berasal dari deforestasi dan melecehkan hak masyarakat adat”, kata Sergio Baffoni dari Environmental Paper Network (EPN). “Kita tidak dapat mengorbankan surga terakhir di planet ini untuk produk yang hanya berakhir di tempat sampah dalam beberapa jam setelah dipakai sekali”.
“Moorim Paper mengiklankan diri sebagai pemimpin industri kertas dan bubur kertas yang berkelanjutan, tetapi pelanggarannya terhadap hak asasi manusia dan perusakan hutan tropis asli di Papua tidak diketahui oleh masyarakat Korea.” kata Soojin Kim dari Solution for Our Climate (SFOC). “Bahwa Moorim mengabaikan peringatan LSM Korea ini dan masih melanjutkan bisnis seperti biasa tanpa menyelesaikan masalah ini dalam tiga tahun terakhir, ini tidak bisa kita terima.”
Hutan-hutan yang dibabat oleh Moorim di Papua adalah milik suku tradisional, yang telah membentuk kehidupan dan budaya mereka. Namun, buldoser perusahaan menghancurkan tempat mencari ikan, berburu, dusun sagu, dan bahkan situs keramat mereka, di mana tanah suku-suku tersebut memiliki nilai-nilai sosial dan spiritual bagi mereka. Moorim telah gagal untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dan menerapkan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Free Prior Informed Consent) untuk setiap kegiatan di tanah mereka. “Kegagalan perusahaan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat menyebabkan kerugian sosial ekonomi, budaya dan lingkungan” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. “Masyarakat adat sudah menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mereka akan pangan dan air yang berkualitas, penghidupan, dan harmoni, di mana semua ini tidak bisa diganti dengan kompensasi yang tidak adil. Pemerintah harus memberikan sanksi atas dugaan pelanggaran terhadap perusahaan”.
Lebih jauh lagi “Laporan ini menunjukkan bagaimana perusahaan seperti Moorim terus mencampakkan hutan hujan terakhir di Indonesia sambil bersembunyi di balik label hijau kehutanan FSC. FSC harus mengambil tindakan cepat terhadap setiap perusahaan yang melanggar standarnya. Jika tidak, maka label FSC hanyalah sebuah greenwash” kata Annisa Rahmawati, Advokat Mighty Earth untuk Indonesia.
“Pemerintah Korea terkait secara langsung dengan dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh PT PNMP, dengan memberikan pinjaman 9,1 miliar KRW kepada perusahaan induknya, Moorim P&P untuk kegiatan bisnis kehutanannya di luar negeri. Pemerintah harus segera membuka penyelidikan yang transparan dan inklusif tentang kerugian yang ditimbulkan oleh PT PNMP serta meminta Moorim P&P untuk melakukan uji tuntas lingkungan dan hak asasi manusia terhadap PT PNMP termasuk memberikan solusi'' pungkas Shin Young Chung dari Advocates for Public Interest Hukum (APIL).
Waktu kita hampir habis untuk menyelamatkan iklim dan hutan-hutan terakhir di bumi ini, serta orang-orang yang hidupnya bergantung padanya. Sudah waktunya bagi Moorim untuk berhenti bersembunyi di bawah klaim ramah lingkungan. Jika Moorim gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan, maka sudah seharusnya pembeli, pemodal, dan mitra bisnisnya menutup kontrak pasokan, menghentikan dan menangguhkan perjanjian keuangan dan jasa.
Laporan tersedia disini
Astra Tertangkap Lakukan Deforestasi di Habitat Orangutan Terlangka
Siaran Pers Untuk Disiarkan Segera
Astra Tertangkap Lakukan Deforestasi di Habitat Orangutan Terlangka
Citra Satelit Mengungkap Kerusakan Hutan terbaru pada Bulan Oktober 2021
BATANG TORU, SUMATERA UTARA, 9 NOVEMBER 2021 – Citra satelit terbaru berhasil menangkap perusakan hutan pekanlalu oleh Astra International yang saham induknya dimiliki oleh Jardine Matheson1, adalah sebuah perusahaan yang bergerakdi bidang pertambangan, jasa keuangan, otomotif dan agribisnis raksasa pada wilayah habitat spesies kera besar terlangka didunia. Hasil investigasi juga menunjukkan kegiatan operasional Astra di tambang emas Martabe dalam rentang waktu 9sampai 29 Oktober 2021 telah merusak habitat orangutan Tapanuli yang terancam punah.2
“Sejak bulan Februari, Astra berencana untuk menakar dampak tambang Martabe terhadap habitat orangutan Tapanuli,” kata Annisa Rahmawati, Advokat Kampanye Indonesia Mighty Earth. “Namun, bukti baru ini telah menunjukkan bahwa perusakanhutan terus berjalan ketika pembicaraan mengenai rencana masih berlangsung.”
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang diumumkan sebagai spesies baru pada tahun 2017, adalah kera berukuranbesar baru pertama yang ditemukan oleh ilmuwan sejak tahun 1920-an. Dengan temuan ini, Indonesia menjadi satu-satunyanegara selain Republik Demokratik Kongo yang memiliki tiga spesies kera besar. Saat ini, hanya tersisa kurang dari 800orangutan Tapanuli di seluruh dunia, lebih sedikit dari spesies kera besar lainnya.
“Ekosistem Batang Toru di utara Sumatera merupakan satu-satunya habitat orangutan Tapanuli dan sepanjang sejarahmanusia, belum ada satu pun spesies kera besar yang punah. Satwa ini adalah salah satu kerabat terdekat umat manusia,dan saat ini kita tidak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan mereka.” kata Annisa.
Astra International adalah salah satu pemain utama di sektor kelapa sawit dan mempunyai kebijakan khusus mengenaideforestasi. Beroperasi di bawah nama Astra Agro Lestari, baik pengelolaan perkebunan kelapa sawit maupun kegiatanperdagangan perusahaan ini merujuk pada komitmen Nol deforestasi.
“Astra belum mengadopsi komitmen Nol Deforestasi tersebut untuk sejumlah kegiatan operasional mereka yang lain, seperti di tambang Martabe,” lanjut Annisa . “Padahal banyak pelanggan produk mereka seperti Hershey dan Unilever telahmenerapkan komitmen No deforestasi lintas komoditas. Intinya, kelalaian di tambang Martabe ini dapat membahayakanseluruh operasi agribisnis mereka dan memperparah krisis iklim di bumi.”
“Lanskap ekosistem Batangtoru adalah hutan alam terakhir di Sumatera Utara. Pemerintah harus mengevaluasi kembaliseluruh ijin-ijin yang berada di lanskap ekosistem Batangtoru ini dan berani menindak tegas perusahaan yang mengancam keberlangsungan kehidupan di lanskap ekosistem ini”
kata Roy Lumbangaol, Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Utara.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa populasi orangutan Tapanuli telah berkurang hingga hampir separuhnya sejak tahun1985 dan akan terus menurun jika tidak ada tindak perlindungan yang komprehensif. Para ahli biologi konservasi jugamemproyeksikan bahwa jika populasi orangutan dewasa berkurang lebih dari 1% setiap tahunnya, keragaman genetik primataakan menurun hingga akhirnya punah. Itu sebabnya para ilmuwan dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN) menyerukan diberlakukannya moratorium3 pengembangan proyek yang berdampak langsung pada habitat orangutanTapanuli.
Tidak hanya bagi Orangutan Tapanuli, lanskap ekosistem Batang Toru juga merupakan tempat tinggal bagi sejumlah hewanpaling terancam punah di dunia, seperti harimau Sumatra, trenggiling, dan rangkong. Kehidupan satwa seperti beruangmadu, tapir, serow serta beragam spesies langka lainnya, termasuk lebih dari 300 spesies burung, terlebih lagi bagi masyarakat adat dan masyarakat sekitar yang sangat bergantung kehidupannya pada keberadaan hutan dan keanekaragaman hayati di lanskap ekosistem Batangtoru.
1 https://www.ft.com/content/74d17c47-fc3f-47db-a717-e1a2780986fb
2 https://www.planet.com/stories/astra-jardine-martabe-gold-mine-expansion_vers3-pzV7oNKng
3 https://www.iucn.org/news/secretariat/201904/iucn-calls-a-moratorium-projects-impacting-critically-endange red-tapanuli-orangutan
# # #
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: Advokat Kampanye IndonesiaMighty Earth Annisa Rahmawati
08111097527 [email protected]
Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Utara
Roy Lumbangaol
+62 822-7656-8624 [email protected]
PR Consultant Image Dynamics Ayunda Putri
08122001411 [email protected]
Korindo, Perusahaan Kelapa Sawit dan Kayu dikeluarkan dari Forest Stewardship Council (FSC)
15 Juli 2021 Jakarta, Indonesia — Dewan Forest Stewardship Council (FSC), organisasi sertifikasi kehutanan global terkemuka, telah menghentikan sertifikasi[1] dari Korindo Group, konglomerat kayu dan kelapa sawit Korea-Indonesia yang bereputasi buruk yang beroperasi di Papua dan Maluku Utara, Indonesia.
Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut pengaduan oleh Mighty Earth pada tahun 2017, dan upaya berbagai organisasi di Indonesia, Korea, dan seluruh dunia untuk mengungkap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. “Pengeluaran paksaan yang dilakukan FSC terhadap Korindo, memberikan lebih banyak bukti, bahwa terlepas dari klaim besar-besaran Korindo terhadap kelestarian, ternyata perusahaan masih belum dapat menunjukkan bukti telah memenuhi standar dasar sebagai bisnis yang bertanggung jawab terhadap lingkungan di abad ke-21,” kata Advokat Mighty Earth, Annisa Rahmawati. “Keputusan FSC harus menjadi peringatan bagi perusahaan mana pun yang berpikir bahwa mereka dapat menggunakan Greenwashing dan intimidasi hukum untuk menghancurkan hutan dan menginjak-injak hak-hak masyarakat adat dengan impunitas..”
Panel pengaduan FSC menemukan[2] bahwa Korindo telah menghancurkan lebih dari 30.000 hektar hutan hujan[3] (setara dengan 42.000 lapangan sepak bola) dalam lima tahun terakhir dan melakukan pelanggaran terhadap hak tradisional dan hak asasi masyarakat adat, yang bertentangan dengan standar FSC. Hutan Papua merupakan hutan hujan asli terbesar di Indonesia, dan salah satu lanskap terpenting bagi iklim dunia. Namun demikian, FSC telah mempertahankan ‘asosiasi bersyarat[4]’ dengan Korindo, yang mengharuskan Korindo untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. Sekretaris Jendral FSC pada hari ini mengumumkan[5] penghentian asosiasi karena kegagalan Korindo untuk menyetujui prosedur verifikasi kepatuhannya secara independen.
"Kami tidak dapat memverifikasi peningkatan kinerja sosial dan lingkungan Korindo," Kim Carstensen, Direktur Jenderal Internasional FSC, dikutip dalam artikel BBC[6] tentang pengeluaran paksaannya. Menanggapi keputusan tersebut, Korindo menyatakan akan mencoba untuk mendapatkan kembali sertifikasi tersebut.
“Meskipun FSC menemukan bahwa Korindo telah melanggar kebijakannya karena melakukan deforestasi besar-besaran dan penyalahgunaan hak-hak masyarakat adat, Korindo terus menyebarkankan informasi palsu tentang usaha keras mereka dan terus menggunakan hubungan kelanjutan asosiasinya dengan FSC untuk mengelabui praktik buruknya,” kata Annisa Rahmawati. “Dengan pengumuman hari ini, Korindo tidak bisa lagi bersembunyi di balik FSC."
Selain gagal memenuhi kewajibannya kepada FSC, Korindo telah berusaha untuk membungkam kritik terhadapnya dengan mengajukan gugatan SLAPP di Jerman terhadap organisasi masyarakat sipil yang telah mengungkap pelanggarannya dan menyerukan perbaikan. Akibatnya, juri dari anggota parlemen Eropa terkemuka dan LSM ahli, didukung oleh Coalition Against SLAPPs in Europe (CASE), memberikan penghargaan[7] pada Korindo Group gelar yang memalukan sebagai International Bully of the Year.
“Korindo jelas tidak memiliki itikad baik. Jika Korindo serius meningkatkan kinerja lingkungan dan hak asasi manusia untuk mengatasi pelanggarannya terhadap standar FSC, mereka perlu memulihkan habitat hutan yang dihancurkannya, membayar ganti rugi kepada masyarakat adat Papua yang terkena dampak dan menghentikan pelecehan hukum terhadap kelompok masyarakat sipil yang telah mencoba melawan pelanggarannya,” kata Hye Lyn Kim, Juru Kampanye Federasi Korea untuk Gerakan Lingkungan.
Foto dan video berkualitas tinggi dari investigasi Mighty Earth te Korindo tersedia untuk diunduh disini[8].
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Annisa Rahmawati
08111097527
Ayunda Putri
08122001411
[email protected]
[1] https://fsc.org/en/newsfeed/fsc-announces-disassociation-from-korindo-group
[2] https://fsc.org/sites/default/files/2019-11/Overview%20of%20findings%20complaints%20panel%20investigation_Korindo.pdf
[3] https://www.mightyearth.org/wp-content/uploads/2018/02/2016-08-25-FINAL-Korindo-report-English-3.pdf
[4] Korindo Group | Forest Stewardship Council (fsc.org)
[5] https://fsc.org/en/newsfeed
[6] https://www.bbc.com/news/world-asia-57845156
[7] https://www.mightyearth.org/2021/05/20/notorious-palm-oil-giant-korindo-wins-international-bully-of-the-year-award/
[8] https://www.dropbox.com/sh/kmbbj456f7emez8/AADfXnIxIDiSqgidc-3Esdx-a?dl=0
Statement in Response to Tragic Mudslide in Batang Toru, Indonesia
Update: On May 28th, an additional foreign worker was killed as the result of another mudslide on the site of the the Batang Toru hydroelectric dam. This brings the total killed in the last 6 months to 15 people.
Responding to the tragic news that at least 13 people have been killed or are missing in a mudslide on the site of the controversial Batang Toru hydroelectric dam project in Indonesia, Mighty Earth Campaign Director Amanda Hurowitz issued the following statement:
“Our hearts go out to the families of the people who have been killed or injured in this tragic disaster – both local community members and the Chinese workers at the site, far from home. We urge PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) and government authorities at all levels to provide immediate assistance and relief to those impacted and take action to prevent further damage and harm.
“Sadly, this disaster was likely an avoidable one. Scientists, environmental advocates and even reports received by the Indonesian Ministry of Forestry have all warned that the terrain surrounding the proposed site for the Batang Toru dam was at medium to high risk of landslides because of high rainfall, hilly terrain and poor drainage. The project also sits near a fault line in an area prone to earthquakes and is being built, seemingly, without an adequate plan in place to mitigate the effects of development in this sensitive area. In fact, just five months ago, another landslide killed a Chinese dam worker, foreshadowing today’s tragedy.
“Our allies, the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) have filed a lawsuit against the project in Indonesian court, claiming NSHE’s environmental impact assessment failed to consider endangered species, communities downstream, and the potential for ecological disasters. Additionally, WALHI has called for development to stop in this ecologically important, high risk area."
Roy Lumban Gaol, Deputy for Advocacy and Campaigns with WALHI North Sumatera, added:
"This incident is just another example of why this destructive project needs to be halted once and for all. There should be a moratorium on further development of the site. The Indonesian government should suspend the AMDAL for the project and conduct an urgent review of the project’s viability in terms of risk to worker safety, structural integrity linked to flooding and earthquake risk and the existential threat the dam construction poses to biodiversity, including the world’s most endangered great ape: the Tapanuli orangutan."
###
Background
- This ill-conceived Chinese backed Indonesian dam project came to worldwide attention in 2017 when scientists made the stunning announcement that they had identified a new species of great ape living in the forests of Batang Toru. The Tapanuli Orangutan, numbering only 800, is the most endangered species of ape in the world. The dam and associated infrastructure by bisecting their habitat threatens their very existence.[i]
- Analysis of predicted electricity demand in the region has shown that the electricity that would be produced by the dam may not even be needed.[ii]
- This project has become a risky bet for major financiers. Multilateral development banks such as the International Finance Corporation (IFC) have also pulled out of the project[iii], as have private investment banks like Goldman Sachs.[iv] The Asian Infrastructure Development Bank has reportedly declined to finance the project. And, the Bank of China appears to have suspended its involvement pending a ‘review’.[v]
- The Tapanuli orangutan faces other threats associated with habitat loss, including land clearing associated with the Martabe gold mine, owned and operated by companies linked with to Astra Agro Lestari and British conglomerate Jardines Matheson.[vi]
--
- https://news.mongabay.com/2019/02/what-does-it-take-to-discover-a-new-great-ape-species/; https://www.mightyearth.org/2019/03/07/batang-toru/
- Dam that threatens orangutan habitat is ‘wholly unnecessary’: Report (mongabay.com)
- Bank of China’s Notes on the Hydroelectric Dam Project in Batang Toru of Indonesia (boc.cn)
- Dam that threatens orangutan habitat faces three-year delay (mongabay.com)
- Dam threatening world’s rarest great ape faces delays | Science | AAAS (sciencemag.org)
- https://www.independent.ie/world-news/asia-pacific/fears-rare-orangutan-being-driven-to-extinction-by-gold-mine-39508396.html
Raksasa Sawit Korindo Berupaya Bungkam LSM dengan Gugatan 'SLAPP' Tak Berdasar
Sidang pertama di Pengadilan Jerman akan dilaksanakan pada tanggal 22 Januari
Jerman, 19 Januari 2021 – Organisasi Rainforest Rescue asal Jerman (Rettet den Regenwald) dan Center for International Policy (CIP) yang bermarkas di Washington, D.C., Amerika Serikat mengecam gugatan pencemaran nama baik tak berdasar yang dilayangkan ke Pengadilan Regional Hamburg oleh sebuah perusahaan yang mengaku dirinya sebagai bagian dari perusahaan konglomerat minyak sawit, kayu dan menara pembangkit energi tenaga angin kerja sama Korea-Indonesia, Korindo. Sidang pengadilan pertama untuk kasus ini rencananya akan dilangsungkan tepat pukul 12 siang di waktu setempat pada tanggal 22 Januari mendatang.
Korindo terlibat dalam praktik deforestasi berskala besar dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat di wilayah Papua dan Maluku Utara, Indonesia. Praktik buruk Korindo tersebut terungkap secara lengkap dalam laporan yang disusun oleh Mighty Earth pada tahun 2016 yang berjudul “Burning Paradise” serta sejumlah laporan, publikasi dan dokumenter lainnya, termasuk juga artikel BBC yang dirilis belum lama ini.
"Gugatan ini merupakan strategi kotor yang biasa dilakukan oleh banyak perusahaan. Melihat semakin terkuaknya praktik perusakan hutan hujan secara besar-besaran dan penyalahgunaan hak-hak masyarakat adat yang selama ini mereka lakukan, Korindo menggunakan gugatan ini untuk mencoba mengintimidasi dan membungkam LSM, jurnalis dan aktivis agar berhenti membongkar kegiatan mereka," kata Deborah Lapidus, Wakil Presiden Mighty Earth. “Namun langkah ini justru semakin mengekspos tindak kejahatan Korindo dan menyoroti penyangkalan mereka atas semua kerusakan dan kerugian yang terjadi.”
Gugatan tersebut berdasarkan pada sejumlah surat yang ditandatangani oleh Mighty Earth, Rainforest Rescue (Rettet den Regenwald) dan koalisi LSM lainnya pada bulan Oktober 2016 – lebih dari empat tahun lalu. Surat-surat tersebut bertujuan untuk menyadarkan beberapa perusahaan pelanggan menara pembangkit energi tenaga angin produksi Korindo – termasuk Siemens AG (Jerman) dan Gamesa Corporation (sekarang Siemens Gamesa) dan Nordex SE (Jerman) – akan praktik perusakan hutan hujan berskala besar yang dilakukan oleh perusahaan tersebut di Indonesia. Dalam gugatannya, Korindo mempermasalahkan dan menghendaki pencabutan sejumlah pernyataan di dalam surat-surat tersebut serta menghendaki diterapkannya hukuman yudisial – yang mencakup denda dalam jumlah besar dan hukuman penjara – jika pernyataan-pernyataan tersebut kembali muncul di masa mendatang.
Tuntutan Korindo tersebut adalah contoh nyata Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). SLAPP merupakan sebuah tren baru yang sangat mengkhawatirkan di mana berbagai pihak berkepentingan yang berpengaruh besar, seperti perusahaan raksasa atau individu ternama, mengajukan tuntutan hukum yang sengaja dirancang untuk menyerang dan secara substansial menguras sumber daya dari organisasi pengawas yang lebih kecil, aktivis, jurnalis, serikat pekerja, media massa serta pihak-pihak lainnya yang mewakili kepentingan masyarakat.
“Aksi perusakan hutan hujan merupakan salah satu kejahatan lingkungan terbesar yang terjadi di dunia saat ini. Namun, alih-alih menuntut para pelakunya, institusi pengadilan malah banyak digunakan untuk menyerang para aktivis lingkungan,” kata Bettina Behrend, Rettet den Regenwald. “Kini, demokrasi kita telah diselewengkan dan supremasi hukum juga telah disalahgunakan. Tapi hal ini tidak akan membuat kami terintimidasi. Sebaliknya, kami justru semakin bertekad untuk bersuara lebih lantang demi membela mereka yang hidupnya menderita akibat dampak kerusakan lingkungan.”
SLAPP merupakan ancaman besar bagi demokrasi dan hak-hak fundamental masyarakat, yang meliputi kebebasan berbicara dan hak untuk berkumpul. Meskipun demikian, kesadaran masyarakat akan ancaman gugatan SLAPP terhadap hak untuk mendapatkan informasi perlahan mulai meningkat. Wakil Presiden European Commission Věra Jourová baru-baru ini berjanji akan "meninjau semua opsi" untuk melawan ancaman SLAPP terhadap demokrasi di Eropa. Tak hanya itu, sebuah koalisi yang terdiri dari 87 organisasi jurnalistik dan masyarakat sipil, termasuk Mighty Earth, juga telah menyerukan kepada Uni Eropa untuk segera memberlakukan undang-undang yang mampu melindungi warga UE dari SLAPP.
Dipilihnya Jerman sebagai lokasi pengajuan gugatan tersebut mencerminkan langkah Korindo untuk memanfaatkan “jurisdiction shopping” – atau memilih negara yang penegakan hukumnya menguntungkan bagi penggugat – sebagai strategi untuk menyerang organisasi yang berani mengekspos pelanggaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang mereka lakukan. Menurut para ahli hukum, Jerman merupakan salah satu dari sejumlah yurisdiksi di Uni Eropa yang hukum nasional dan putusan pengadilannya selama ini cenderung memberikan keuntungan bagi para pelapor tuntutan pencemaran nama baik yang tidak berdasar.
Gugatan ini menjadi aksi terbaru Korindo atau anak perusahaannya dalam menggunakan tindakan hukum, atau langkah-langkah intimidasi lainnya, untuk mencoba mengubur pengungkapan praktik tercela mereka. Berikut adalah daftar singkat tindakan hukum yang telah ditempuh Korindo dalam beberapa tahun terakhir:
- Pada tahun 2018, tim kuasa hukum Korindo mengirimkan surat berisi ancaman hukum kepada sejumlah LSM yang terlibat dalam upaya pembongkaran berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tersebut di seluruh dunia.
- Pada bulan September 2019, Korindo melayangkan ancaman hukum kepada Forest Stewardship Council (FSC), sebuah badan sertifikasi global yang mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, melalui penyampaian surat “ceast and desist” guna mengintimidasi FSC agar menangguhkan rencana perilisan dokumen ringkasan publik sebanyak 100+ halaman yang merangkum hasil temuan penyelidikan FSC selama dua tahun terhadap Korindo Group. Akibatnya, FSC hanya merilis[i] sebuah dokumen ringkasan sebanyak dua halaman yang menyimpulkan bahwa Korindo telah melanggar standar FSC melalui tindak konversi hutan secara signifikan, perusakan hutan “bernilai konservasi tinggi” dan pelanggaran terhadap hak tradisional dan hak asasi manusia. “Karena adanya ketidaksepakatan dengan pihak Korindo, laporan panel pengaduan yang asli saat ini tidak tersedia, namun ringkasan temuan investigasi kami dapat diakses di sini,” tulis FSC di situs resminya.
- “Analisis sosial” yang dilakukan oleh FSC terhadap operasi Korindo di Indonesia menguak fakta bahwa “masyarakat yang terkena dampak telah menderita kerugian yang cukup besar… Ini berkisar dari ancaman hingga penggunaan kekerasan dalam beberapa kasus tertentu, dan dalam suasana intimidasi yang berkelanjutan (di luar peraturan keamanan setempat yang berlaku)… ”
- Menanggapi film dokumenter Al Jazeera mengenai Korindo yang tayang pada bulan Juni 2020, Selling Out West Papua, Korindo mengeluarkan sebuah pernyataan yang berisi ancaman tindakan hukum.
- Dalam pernyataan pers menanggapi film dokumenter BBC yang dirilis pada bulan November 2020, The Burning Scar, Korindo mengemukakan bahwa mereka pernah memperkarakan sejumlah LSM hingga ke tingkat pengadilan atas klaim serupa.
“Kami berharap [Korindo] serius untuk memberikan pemulihan bagi masyarakat adat terkait hak atas tanahnya. Kami berterimakasih kepada LSM-LSM, nasional maupun internasional yang secara independent memantau kegiatan Korindo dan memberikan informasi yang berharga untuk membantu mereka menjadi perusahaan yang lebih baik, dan untuk ini Korindo seharusnya juga berterimakasih kepada mereka, daripada terus melawannya sampai ke tingkat pengadilan dan mengintimidasi mereka yang mengungkap praktik destruktif perusahaan ” kata Pastor Anselmus Amo, Direktur Eksekutif SKP KAMe Merauke, sebuah organisasi kemanusiaan milik Gereja Katolik yang berbasis di Papua yang telah bekerja selama bertahun-tahun untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk dari tindak eksploitasi Korindo.
“Mengajukan tuntutan hukum terhadap organisasi kepentingan publik tentunya tidak akan dapat memulihkan reputasi Korindo atau mengembalikan para pelanggan minyak sawit dan hasil hutan yang telah pergi akibat tindak perusakan lingkungan Korindo yang begitu membahayakan,” kata Lapidus. “Para perusahaan yang baru-baru ini menjadi pelanggan Korindo seperti General Electric Corporation (AS), News Corps Australia dan Sumitomo Forestry (Jepang) harus segera mendesak pihak Korindo untuk mengganti semua kerugian yang telah ditimbulkan baik terhadap masyarakat setempat maupun hutan hujan terakhir di Bumi yang sangat berharga dan berhenti membuang-buang waktu serta uang dalam upaya menggugat organisasi masyarakat sipil." (*)
---
[i] Semua laporan investigasi FSC mengenai Korindo yang dirujuk di atas dapat ditemukan pada bagian bawah halaman situs web ini: https://fsc.org/en/unacceptable-activities/cases/korindo-group
Laporan: Michelin Tutupi Tindak Deforestasi Hutan dalam Proyek Karet “Ramah Lingkungan” di Indonesia
Laporan terbaru menguak fakta bahwa perusahaan ban terbesar di dunia tersebut tengah mencari dana hingga jutaan dolar dari investor untuk memulihkan kawasan hutan yang dirusak oleh mitra bisnisnya sendiri
JAKARTA- Organisasi kampanye perlindungan lingkungan Mighty Earth hari ini merilis sebuah laporan yang menuduh bahwa perusahaan ban terbesar di dunia, Michelin, ikut terlibat dan telah menutup-nutupi tindak deforestasi berskala industri di kawasan hutan hujan seluas lebih dari 2.500 hektar menjelang peluncuran proyek karet alam berkelanjutan yang 'ramah lingkungan' di Sumatra, Indonesia. Proyek patungan tersebut, yang dilaksanakan bersama sebuah perusahaan yang ‘berada di bawah naungan Barito Pacific Group’, saat ini tengah mencari investasi tambahan senilai $120 juta dari investor hijau.
Bukti dalam laporan baru tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan hujan seluas 2.590 ha – setidaknya tujuh kali lebih luas dari Central Park di kota New York, atau setara dengan luas pusat kota Paris – telah digunduli oleh sejumlah anak perusahaan mitra Michelin di Indonesia dalam kurun waktu 33 bulan hingga Januari 2015 guna membuka kawasan perkebunan karet alam Proyek Royal Lestari Utama (RLU) yang berfokus pada konservasi alam dan satwa liar di Jambi, Sumatra. Mighty Earth juga menemukan bahwa sekitar 1.298 hektar dari keseluruhan kawasan yang dirusak tersebut terletak di dalam Kawasan Konservasi Satwa Liar, dan saat ini telah ditanami ribuan pohon karet di bawah pengawasan Proyek RLU.
Berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berada di tengah pulau Sumatra, kawasan hutan hujan tropis yang kaya akan sumber daya alam dan satwa liar ini telah menjadi tempat tinggal bagi dua masyarakat adat yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil hutan – Talang Mamak dan Orang Rimba – serta berfungsi sebagai habitat kritis bagi sejumlah spesies hewan yang terancam punah seperti gajah Sumatra, harimau Sumatra dan orang utan Sumatra yang dilepasliarkan.
Michelin Group adalah perusahaan ban terbesar di dunia yang menggunakan karet alam sebagai bahan utama dari ban kendaraan yang diproduksi dan dijualnya di seluruh dunia. Sejak pertama diluncurkan, Proyek RLU telah menerima pendanaan dari ‘obligasi hijau’ berkelanjutan pertama di Asia senilai $95 juta, dana publik dari pemerintah Norwegia, Inggris dan AS, dan akan segera mendapatkan pendanaan lebih lanjut dari obligasi hijau kedua senilai $120 juta.
“Ini adalah skandal deforestasi yang sangat besar,” kata Alex Wijeratna, Direktur Kampanye Mighty Earth dan juga penulis laporan tersebut. “Bukti kami yang kami temukan menunjukkan terjadinya tindak deforestasi berskala industri di ribuan hektar hutan hujan yang kaya akan satwa liar di Jambi menjelang disetujuinya Proyek RLU pada akhir tahun 2014. Michelin mengetahui adanya aksi yang mengerikan ini, tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya, dan sebaliknya memilih untuk menyematkan label ‘ramah lingkungan’ pada Proyek RLU demi menarik investor obligasi hijau yang sejak saat itu telah menginvestasikan jutaan dolar ke dalam proyek tersebut.”
Pada bulan Mei 2015, Michelin secara resmi mengumumkan Proyek RLU seluas 88.000 hektar yang dijalankan oleh sebuah perusahaan Indonesia yang berada ‘di bawah naungan Barito Pacific Group’. Saat itu, Michelin mengatakan bahwa wilayah konsesi Jambi telah “…telah dirusak oleh deforestasi yang tidak terkendali” dan menyalahkan pelaku luar seperti perambah, pekerja pendatang dan kelompok kriminal terorganisir.
Sebaliknya, laporan yang diterbitkan oleh Mighty Earth menyatakan bahwa mitra usaha patungan Michelin sendiri – yaitu anak perusahaan RLU yang dikenal sebagai PT Lestari Asri Jaya (LAJ) – yang melakukan sebagian besar perusakan ini melalui kegiatan pembukaan hutan berskala industri, terutama di dalam wilayah konsesi LAJ 4. Laporan yang berjudul Complicit: An Investigation into Deforestation at Michelin’s Royal Lestari Utama Project in Sumatra, Indonesia tersebut menunjukkan bahwa pada bulan April 2012 terdapat kawasan hutan utuh seluas 3.966 hektar yang menutupi hampir seluruh wilayah studi kasus LAJ 4. Pada saat proyek usaha patungan RLU dimulai pada bulan Januari 2015, hanya sekitar 138 hektar dari keseluruhan kawasan hutan tersebut yang masih tersisa. Analisis citra satelit resolusi tinggi oleh Mighty Earth menunjukkan bahwa penanaman karet berskala besar telah menggantikan kawasan hutan di wilayah tersebut.
Mighty Earth telah melakukan korespondensi dengan pihak Michelin dan RLU di Indonesia untuk mencari kebenaran mengenai penelitiannya di Jambi yang dimulai sejak bulan September 2019 serta meminta agar sejumlah dokumen serta laporan uji kelayakan sosial dan lingkungan dari bulan Oktober 2013 dipublikasikan secara umum. Kedua perusahaan tersebut berulang kali menolak permintaan Mighty Earth, meskipun fakta membuktikan bahwa dana publik telah digunakan untuk mendukung proyek tersebut.
“Michelin telah melakukan serangkaian kunjungan lapangan dan uji kelayakan di Jambi sejak awal Oktober 2013, tetapi mereka menolak semua permintaan kami untuk melakukan transparansi publik dan malah menyembunyikan semua hasil uji kelayakan tersebut,” kata Wijeratna.
“Sejauh ini, investor publik dan swasta telah menyuntikkan dana ‘obligasi hijau’ atau ‘obligasi keberlanjutan’ sejumlah hampir $100 juta ke Proyek RLU di Indonesia, dan saat ini mereka tengah dimintai dana tambahan senilai $120 juta,” kata Wijeratna. “Kami menginginkan adanya penyelidikan independen untuk mengungkap semua hal buruk yang terjadi di sana sebelum proyek ini dimulai. Kami juga menyerukan agar dana dari ‘obligasi hijau’ kedua tidak diturunkan sebelum semua fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Jambi dirilis ke ranah publik.”
Proses uji kelayakan dan konsultasi masyarakat yang tidak jelas juga memiliki konsekuensi sosial yang berkepanjangan di Jambi. “Para petani melaporkan adanya konflik kepemilikan lahan dengan anak perusahaan lokal RLU di lapangan,” kata Fenna Otten dari departemen Geografi Manusia Universitas Göttingen, yang melakukan penelitian lapangan di desa Muaro Sekalo pada tahun 2017. “Para penduduk desa mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menyerahkan tanah mereka kepada pihak perusahaan. Mereka merasa dipaksa dan tidak berdaya. Michelin tidak sepantasnya mendapatkan pendanaan obligasi hijau ataupun pujian dari masyarakat karena mereka telah menipu begitu banyak pihak melalui proyek pembangunan yang mereka sebut berkelanjutan ini. "
Pada pertengahan bulan September lalu, masyarakat kembali melakukan demonstrasi di Tebo, Jambi untuk memprotes perampasan tanah secara tidak adil yang dilakukan oleh Proyek RLU.
“Anda tidak akan bisa menghentikan deforestasi ataupun perampasan kecuali Anda tahu persis siapa yang bertanggung jawab,” kata Wijeratna. “Ini merupakan bagian dari masalah transparansi yang lebih luas, baik dengan Michelin maupun industri karet secara keseluruhan. Michelin bahkan tidak mau mengungkapkan dari perusahaan mana pasokan karetnya berasal. Jika Michelin benar-benar ingin memenuhi target nol-deforestasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti yang mereka katakan, maka Michelin harus berterus terang mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Jambi, dan menggunakan posisinya sebagai pemimpin industri untuk mendorong transparansi yang lebih besar di seluruh rantai pasokan karet.”
Persetujuan Omnibus Law Indonesia Menjadi Ancaman Mengerikan bagi Upaya Anti-Deforestasi
Industri Minyak Kelapa Sawit Harus Menolak Pembatalan Secara Legislatif Pembatasan Deforestasi
Jakarta, 5 October 2020 – Parlemen Indonesia mengeluarkan stimulus ekonomi yang kontroversial “Omnibus Law” hari ini meskipun ada berbagai tentangan dari aktivis lingkungan dan masyarakat adat dan kekhawatiran dari investor internasional bahwa unsur-unsur dari undang-undang baru tersebut akan memperburuk deforestasi dan pelanggaran hak atas tanah serta akan membalikan kesuksesan sebelumnya dalam mengurangi hilangnya lahan hutan. Keputusan anggota parlemen Indonesia untuk menyetujui RUU dengan berbagai elemen didalamnya juga mengancam untuk meniadakan perkembangan yang sangat berarti yang dibuat oleh sektor minyak kelapa sawit untuk mengadopsi praktik produksi yang lebih bertanggung jawab.
“Saat ini parlemen Indonesia membuat pilihan keliru yang akan menghancurkan antara kelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi, dengan secara efektif melegitimasi deforestasi yang tidak terkendali sebagai mesin untuk apa yang mereka sebut kebijakan penciptaan lapangan kerja pro-investasi.” kata Phelim Kine, Direktur Kampanye Senior Mighty Earth. “Itu salah perhitungan dan tragis karena investor asing dan mitra dagang utama akan semakin menyandarkan investasi mereka dan keputusan impor tentang standar kelestarian lingkungan yang akan melindungi tutupan hutan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang tak ternilai harganya daripada menghancurkannya.”
Pemerintahan presiden Joko “Jokowi” Widodo telah membenarkan undang-undang baru yang luas, yang melibatkan penyisipan 174 pasal yang baru ke dalam 79 undang-undang yang mengatur berbagai bidang termasuk perpajakan, tenaga kerja, investasi, dan lingkungan, sebagai alat penting dari penciptaan lapangan kerja di tengah pandemi virus Corona. Namun undang-undang baru tersebut mencakup berbagai ketentuan yang menurut para analis akan memperburuk deforestasi di Indonesia dan akan lebih jauh lagi menimbulkan kerugian reputasi pada sektor minyak kelapa sawit internasional. Analisis dari LSM Indonesia Madani telah memperingatkan bahwa undang-undang baru akan melemahkan perlindungan hukum yang ada untuk hutan alam dengan potensi dampak bencana, termasuk penghancuran total pada tutupan lahan hutan alam di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah selama dua hingga tiga dekade mendatang.
Parlemen menyetujui undang-ungang baru meskipun konsultasi pemerintahan publik tidak memadai tentang substansi dan implikasinya. Pada 5 Oktober, sekelompok investor global yang mengelola aset senilai $ 4,1 triliun mengeluarkan surat kepada pemerintah Indonesia yang menyatakan keprihatinan mereka tentang “dampak negatif dari tindakan perlindungan lingkungan tertentu yang dipengaruhi oleh Omnibus Law.” Pada bulan Juli, koalisi kelompok lingkungan dan masyarakat sipil Indonesia memperingatkan dalam sebuah surat terbuka kepada pemodal domestik dan internasional bahwa pengesahan RUU tersebut akan berarti bahwa “hukum dan peraturan Indonesia untuk saat ini tidak akan lagi mematuhi pengamanan lingkungan dan sosial yang telah diterima secara global.” Pada bulan yang sama, Country Director Bank Dunia Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen, memperingatkan bahwa Omnibus Law akan “menjauhkan peraturan lingkungan Indonesia dari penerapan praktik terbaik.”
Sektor minyak kelapa sawit Indonesia sangat rentan terhadap pukulan balik dari importir karena ketentuan lingkungan yang bermasalah dalam undang-undang baru tersebut. Importir utama minyak sawit termasuk Uni Eropa dan Britania Raya sedang mempertimbangkan standar lingkungan yang semakin ketat untuk impor pertanian, termasuk minyak kelapa sawit. Implementasi industri dari kebijakan “No Deforestation, No Peatland, No Eksploitation” (NDPE) telah membantu memastikan produsen Indonesia dapat memenuhi standar tersebut. Pengesahan RUU tersebut kemungkinan akan mendorong lebih banyak deforestasi oleh produsen minyak kelapa sawit, mencemari industri dan pelanggannya secara keseluruhan. Unsur-unsur pro-deforestasi RUU, juga terbang dalam menghadapi pemberlakuan pemerintah Indonesia pada Agustus 2019 dari moratuorium permanen tentang pembukaan hutan untuk kayu dan pengembangan perkebunan.
“Perusahaan minyak kelapa sawit Indonesia menyadari bahwa mereka tidak boleh merusak kemajuan yang telah mereka buat selama bertahun-tahun dalam menurunkan deforestasi yang terkait dengan produksi minyak kelapa sawit hanya karena Omnibus law sekarang mempermudah perusahaan untuk menghancurkan hutan dan ekosistem,” kata Kine. “Sektor minyak kelapa sawit harus menyadari bahwa kelangsungan hidup bisnis ekspornya dalam jangka panjang bergantung pada kebijakan yang melindungi hutan daripada menghancurkannya. Memanfaatkan persyaratan hukum baru yang dilonggarkan akan menjadi langkah mundur besar-besaran bagi industri.”
Terlepas dari reputasi dan ekonomi yang dipertaruhkan, pedagang minyak kelapa sawit utama termasuk Wilmar, Golden Agri, Musim Mas, RGE Group, Bunge, Sime Darby, dan Louis Dreyfus tak bergeming di depan umum tentang RUU tersebut. Produsen utama pada barang konsumen termasuk Unilever, Cargill dan Nestle, yang telah berkomitmen pada kebijakan NDPE, juga belum menyatakan keprihatinan tentang RUU tersebut. Satu-satunya perusahaan minyak kelapa sawit besar yang mengomentari RUU tersebut adalah Astra Agro Lestari (AAL), dengan Wakil Presiden Direkturnya, Joko Supriyono, menyatakan dukungan bahwa undang-undang tersebut tidak memenuhi syarat hukum. Dengan melakukan itu, Supriyono mencemooh kebijakan NDPE AAL itu sendiri dan bertentangan dengan perusahaan induk AAL., Jardine Matheson, menyatakan dukungannya secara eksplisit pada minggu lalu untuk langkah-langkah peraturan internasional yang mengendalikan deforestasi.
“Sekarang RUU itu sudah menjadi undang-undang, pertempuran bergeser ke implementasi. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa mereka merumuskan peraturan pelaksanaan khusus dari undang-undang baru tersebut melalui konsultasi yang erat dengan organisasi lingkungan dan masyarakat sipil untuk mengurangi implikasi buruknya terhadap hutan negara.,” kata Kine. “Dan sektor minyak kelapa sawit harus menunjukkan kesediaannya untuk mempertahankan standar produksi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan meskipun pemerintah gagal melakukannya.”
---###---
Info lebih lanjut, hubungi:
Image Dynamics
Ayunda Putri
08122001411
[email protected]
Deforestasi Indonesia, Ancaman Ganda Karhutla Dan COVID-19
Lebih dari 500 tenaga Kesehatan professional ajukan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk cegah kebakaran hutan dan lahan
Pemerintah Indonesia harus menyadari dan mengambil langkah pencegahan atas ancaman gabungan kebakaran hutan dan lahan dengan resiko Kesehatan akibat Covid-19 yang menggerakan lebih dari 500 tenaga Kesehatan profesional menandatangani surat terbuka yang dibacakan oleh dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari pada Kamis, 24 September 2020. Webinar tersebut juga dihadiri oleh Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB).
Acara webinar yang dihadiri 234 peserta ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk merespon potensi bencana Covid-19 serta pentingnya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di era pandemi ini. Dalam webinar tersebut mengundang perhatian pada fakta yang meresahkan bahwa virus yang menyebabkan Covid-19 terus menyebar ke seluruh Indonesia di waktu yang bersamaan dengan resiko kebakaran hutan dan lahan tertinggi. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan konsekuensi yang fatal untuk Kesehatan publik, dan asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang dihisap berpotensi memperburuk kondisi medis pasien Covid-19. Seperti diketahui bahwa Covid-19 telah membebani kapasitas Rumah Sakit di Indonesia dan tekanan pada system medis hanya akan semakin tidak terkendali jika ditambah dengan korban dari kebakaran hutan dan lahan. Kombinasi keduanya akan menjadi menyulitkan pemerintah untuk penanggulangan bencana.
“Saya sangat berterima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang sudah meluangkan waktu untuk mendukung dengan menandatangani surat terbuka ini di tengah padat dan sibuknya mereka dalam berjuang menghadapi badai pandemi Covid-19 ini. Persoalan kesehatan masyarakat harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi secara umum adalah upaya terintegrasi menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Jangan sampai di situasi Covid-19 yang sudah rumit seperti saat ini, kesehatan masyarakat semakin terbebani dengan bencana asap karhutla. Saat ini boleh dikatakan kita beruntung karena musim kemarau tidak sekering dan selama biasanya. Ke depannya, mari kita terus jaga hutan kita, demi Indonesia yang lebih sehat,” ujar drg. Monica Nirmala, Senior Public Health Yayasan Alam Sehat Lestari.
Hal yang sangat meresahkan adalah jika penyebaran virus Covid-19 terjadi berbarengan dengan kebakaran hutan dan lahan, di mana keduanya bisa berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Beban rumah sakit saat ini sudah cukup berat akibat Covid-19, dan kondisinya bisa semakin parah jika jumlah pasien bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan. Fokus penanganan bencana oleh pemerintah daerah juga akan terbelah sehingga tidak optimal.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Nila Moeloek dalam pidatonya saat membuka acara webinar, “asap ini bisa dari rokok, bisa dari kebakaran hutan, akhirnya akan mengganggu paru-paru. Dan paru-paru ini akan mengirup oksigen. Kita mengharapkan oksigen yang dengan mudah masuk paru-paru untuk bernapas, tapi ternyata virus (Covid-19) ini beresiko lebih besar saat paru-paru terganggu akibat kebakaran hutan.”
Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 64.600 hektare area terbakar yang terjadi selama periode Januari-Juli 2020. Analisa dari MADANI Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa ada terjadi perluasan area potensi terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus. Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.
Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya, data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari. Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.
Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.
“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di suatu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut. Sehingga diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla,” kata Teguh Surya.
Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat. RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
RUU Cipta Kerja ini perlu dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, wakil rakyat serta K/L yang berkepentingan dalam merumuskan RUU tersebut, untuk kemaslahatan umum. Bahwa akan sangat merugikan jika RUU disahkan. Dalam kajian MADANI menjelaskan bahwa hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsi yang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi. Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya.
Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, Kesehatan manusia, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita. Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi. Hal tersebut sudah terjadi bahwa virus yang menyebabkan Covid-19 merupakan penyakit yang berasal dari hewan, mirip dengan HIV/AIDS, Ebola, SARS dan MERS. Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat.
Hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut adalah drg. Monica Nirmala, MPH (Senior Public Health Advisor Yayasan ASRI), Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan), Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB), dengan moderator Wahyu Dyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo). Acara tersebut dibuka oleh Prof. DR. dr. Nila Moeloek, Sp. M (K) (Menteri Kesehatan RI 2014-2019) sebagai Keynote Speaker. Webinar dapat disaksikan Kembali melalui platform Youtube Tempodotco dengan tautan https://www.youtube.com/watch?v=GnKi8kUZhRA.
Menghijaukan Kenormalan Baru
Menghijaukan Kenormalan Baru
Oleh Monica Nirmala
Apa yang baik bagi alam, baik bagi kita. Apa yang menyakiti alam, membawa penyakit bagi kita.
Virus penyebab Covid-19 diperkirakan berasal dari satwa liar. Dalam beberapa bulan, Covid-19 telah menjangkiti 14 juta orang lebih, membunuh lebih dari 600.000 jiwa, dan memorakporandakan ekonomi dunia. Mungkinkah Covid-19 sebenarnya adalah ulah manusia mengganggu keseimbangan alam yang kemudian berbalik mengancam keselamatan kita semua?
Para peneliti mencari tahu asal-muasal Covid-19 dengan mempelajari genetika virus. SARS-CoV-2—virus penyebab Covid-19—diperkirakan berasal dari kelelawar karena kemiripan genomenya. Kelelawar dan virus korona sebetulnya sudah hidup bersama (co-exist) selama jutaan tahun. Virus korona tidak berbahaya bagi kelelawar, tetapi menjadi fatal ketika ia berhasil ”melompat” ke makhluk hidup lain. Pada Covid-19, virus korona diperkirakan melompat dari kelelawar ke trenggiling (sebagai inang perantara), yang kemudian berhasil melompat lagi ke manusia.
Zoonosis—penyakit pada manusia yang berasal dari hewan—tidak datang dengan sendirinya. Bukan secara mendadak kelelawar atau trenggiling hadir dalam hidup manusia, lalu menularkan virus. Namun, manusialah yang memburu, merusak habitat, memperdagangkan, dan mengonsumsi hewan itu secara ilegal.
Lembaga TRAFFIC yang berfokus pada isu perdagangan satwa liar melaporkan, sepanjang 2010-2015, Indonesia pemasok terbesar (83 persen) perdagangan trenggiling ilegal di dunia yang mencapai 10.000 ekor per tahun. Mungkinkah satwa liar yang diperdagangkan di pasar basah di Wuhan—ground zero Covid-19, berasal dari Indonesia?
Covid-19 mungkin yang terburuk, tetapi bukanlah yang pertama. Dalam 30 tahun terakhir, seiring dengan semakin rusaknya alam, bertambahnya populasi manusia, kontaminasi sumber makanan dan air, serta berbagai faktor lain, dunia telah mengalami wabah-wabah baru bermunculan. Beberapa di antaranya flu burung, SARS, ebola, flu babi, HIV-AIDS, dan MERS.
Lembaga United Nations Environment Programme (UNEP) dalam laporan Preventing the Next Pandemic (2020) menyatakan, 75 persen dari penyakit infeksi yang baru muncul (new emerging infectious diseases) berasal dari binatang.
Tak hanya zoonosis
Selain Covid-19, banyak contoh lain yang menggambarkan bahwa ketika manusia menyakiti alam, kita sendiri yang akhirnya jadi sakit. Misalnya, orang Kalimantan percaya bahwa ketika hutan dibabat, penyakit akan muncul, seperti tulah. Para ilmuwan membuktikan apa yang dipercaya orang-orang Kalimantan ini benar.
Ilmuwan Garg (2017) membuktikan bahwa penurunan 1 persen tutupan hutan di Indonesia meningkatkan 10 persen insiden malaria. Bahkan, Chakrabarti (2018) menunjukkan bahwa di Indonesia, bayi pertama dari ibu-ibu yang lingkungannya mengalami kerusakan hutan pada masa kehamilannya memiliki risiko kematian yang lebih tinggi ketimbang anak-anak berikutnya.
Di Kamboja, Pienkowski (2018) meneliti bahwa kerusakan hutan mengakibatkan naiknya diare, demam, dan infeksi saluran pernapasan—penyebab kematian anak balita.
Tak hanya di sekitar hutan, masyarakat di kota pun terdampak.
Secara global, berdasarkan laporan Pollution and Health Metrics oleh Global Alliance on Health and Pollution (2019), polusi akibat industrialisasi dan urbanisasi membunuh 5,3 juta manusia setiap tahun. Di Indonesia, pencemaran udara, air, tanah, dan berbagai bentuk polusi lain diperkirakan membunuh 230.000 orang setiap tahun. Angka ini jauh melebihi korban tsunami mahadahsyat pada 2004 yang masih lekat di ingatan kita. Dan, polusi terus terjadi dari tahun ke tahun.
Protokol Kesehatan
Kenormalan baru berbicara tentang mengadopsi kebiasaan baru demi kehidupan yang aman dan sehat. Melakukan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), serta menghindari 3R (ruangan tertutup, ramai-ramai, dan rumpi jarak dekat) amat penting demi mencegah penularan Covid-19.
Namun, apakah protokol ini cukup untuk menciptakan masa depan yang aman dan sehat? Apakah protokol ini dapat mencegah berulangnya pandemi semacam Covid-19.
Kesehatan kita bergantung tak hanya pada kuatnya sistem pelayanan kesehatan. Dalam bukunya A Call To Be Whole: The Fundamentals of Healthcare Reform, Sowada (2003) menerangkan bahwa pelayanan medis sebenarnya hanya berkontribusi 20 persen pada kesehatan manusia. Lebih dari separuh (55 persen), faktor yang berkontribusi pada kesehatan kita justru berasal dari lingkungan dan sosial, termasuk udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan, dan dukungan orang-orang di sekitar kita.
Sisanya adalah faktor perilaku dan genetik. Oleh karena itu, kesehatan manusia sebetulnya bukan hanya urusan sektor kesehatan semata. Malah ada ungkapan yang berkata bahwa kesehatan itu terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada dokter.
Hikmah hijau Covid-19
Covid-19 dimulai dengan interaksi yang tidak seimbang antara manusia dan alam yang kemudian tersebar oleh keterkaitan global. Kini kita tak mungkin lupa bahwa jarak wabah dari kehidupan kita itu hanya sejauh satu penerbangan.
Dengan 40.000 koneksi penerbangan di seluruh dunia, kejadian di satu pelosok mana pun bisa menyebar ke semua penjuru bumi dalam sekejap. Dan, wabah tidak mengenal batas administrasi, pilihan politik, agama, ataupun ras. Kita semua saling terhubung dan setiap kita bisa terdampak.
Covid-19 adalah satu gejala dari bumi yang sedang sakit. Obatnya, setiap kita perlu berusaha untuk hidup seimbang dengan alam. Pada kenormalan baru, faktor lingkungan perlu menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan—kecil ataupun besar—yang kita ambil, baik secara individu maupun kolektif, di tingkat institusi, daerah, nasional, hingga global. Perambahan hutan ilegal dan perdagangan satwa liar harus berhenti, demi mencegah berulangnya pandemi. Biarkan yang liar tetap hidup di alam liar.
Dengan Covid-19, umat manusia dipaksa berhenti sejenak untuk merenung dan mengambil hikmah. Demi masa depan yang aman dan sehat bagi kita dan anak cucu kita, hidup seimbang dengan alam perlu menjadi ”protokol kesehatan” kita pada era kenormalan baru. Mungkinkah Covid-19 adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada umat manusia untuk mengasihi alam sebelum terlambat?
Monica Nirmala
Alumnus Harvard University, Cendekia Fulbright; Senior Public Health Adviser di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Kalimantan Barat
Raksasa Sawit Indonesia Diam-diam Dukung Praktik Pro-Deforestasi Lewat RUU Cipta Kerja
Raksasa Sawit Indonesia Diam-diam Dukung Praktik Pro-Deforestasi Lewat RUU Cipta Kerja
MINYAK KELAPA SAWIT
Industri kelapa sawit Indonesia serta para pembelinya yang tersebar di berbagai belahan dunia harus segera mendesak Presiden Joko Widodo dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) untuk menghentikan pembahasan mengenai ketentuan stimulus perekonomian yang terkandung dalam “RUU Cipta Kerja”. Kebijakan ini berpotensi memperburuk situasi deforestasi[1] di Indonesia dan menghapus serangkaian keberhasilan[2] yang telah diraih dalam upaya pencegahan hilangnya kawasan hutan (deforestasi) yang sebagian besar didorong oleh diterapkannya praktik produksi minyak sawit yang lebih bertanggung jawab.
“RUU ini menimbulkan ancaman besar bagi hutan Indonesia dan berisiko menyebabkan kerugian ekonomi yang tak terhingga bagi industri minyak sawit setempat – sebuah industri yang keberhasilannya bergantung pada pemenuhan ekspektasi produksi untuk pasar internasional,” kata Direktur Kampanye Senior Mighty Earth, Phelim Kine. “Para petinggi perusahaan minyak sawit raksasa harus menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa RUU ini menghancurkan semua kemajuan yang telah mereka raih dalam menurunkan tingkat deforestasi terkait produksi minyak sawit serta mampu menyebabkan kemunduran yang signifikan bagi industri tersebut.”
Beragam kemajuan yang telah dicapai oleh industri kelapa sawit dalam mengurangi tingkat deforestasi dan perusakan lahan gambut di Indonesia – tak lain berkat tekanan dan keterlibatan dari pembeli, pemodal, kelompok masyarakat sipil, masyarakat adat dan komunitas yang berjuang di garis depan – menjadi titik terang dalam upaya mengatasi tren deforestasi global yang kini tengah berlangsung.
Setidaknya 83% kilang minyak sawit[3] di Indonesia dan Malaysia telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasi kebijakan “Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi” (NDPE). Ini merupakan peningkatan yang sangat baik, mengingat pada bulan November 2017 lalu, baru 74% kilang di kedua negara tersebut yang mengemukakan komitmen mereka. Meskipun belum dijalani sepenuhnya, komitmen ini telah menyebabkan penurunan laju deforestasi[4] terkait minyak sawit di Indonesia dari satu juta hektar per tahun menjadi kurang dari 250.000 hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Berdasarkan kajian[5] organisasi pemantau hutan nonpemerintah Global Forest Watch, angka deforestasi di Indonesia telah menyusut ke tingkat terendah sejak tahun 2003.
Akan tetapi, semua pencapaian tersebut akan sia-sia jika DPR RI menyetujui RUU Omnibus sebelum berakhirnya masa jabatan legislatif periode ini yang jatuh pada tanggal 9 Oktober 2020.[6]
Menurut para analis, RUU tersebut mengandung sejumlah ketentuan yang diprediksi akan memperburuk tingkat deforestasi di Indonesia dan mengakibatkan rusaknya reputasi sektor minyak sawit secara internasional. Kajian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asal Indonesia Madani juga memastikan bahwa RUU tersebut akan melemahkan perlindungan hukum untuk hutan alam di Indonesia dan berpotensi menyebabkan bencana berskala besar[7], termasuk kerusakan signifikan[8] terhadap tutupan hutan alam di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Jawa Tengah dalam dua hingga tiga dekade mendatang.
Sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja tersebut meliputi:
- Dilonggarkannya persyaratan untuk melakukan peninjauan dampak lingkungan dari proyek industri dan agribisnis.
- Diperkuatnya wewenang pemerintah pusat untuk menyetujui bisnis dan investasi di kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditunjuk secara resmi – meskipun saat ini tengah diberlakukan moratorium deforestasi di kawasan-kawasan tersebut.
- Dihapusnya persyaratan yang mewajibkan setiap provinsi untuk mengalokasikan dan mempertahankan setidaknya 30% dari keseluruhan lahan milik provinsi tersebut sebagai tutupan hutan, dan sebaliknya malah mengizinkan masing-masing pemerintah provinsi untuk menetapkan standar mereka sendiri “secara proporsional”.
- Dihilangkannya tanggung jawab dan kewajiban hukum yang berlaku ketat bagi setiap perusahaan yang di areal konsesinya terjadi karhutla (kebakaran lahan dan hutan). Regulasi ini berperan sebagai insentif utama bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencegah dan memadamkan kebakaran yang mungkin terjadi serta menahan diri untuk tidak membakar lahan milik mereka sendiri.
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Jokowi telah membenarkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut – yang mencakup penyisipan 174 pasal baru ke dalam 79 undang-undang yang mengatur bidang-bidang termasuk perpajakan, ketenagakerjaan, investasi dan lingkungan – merupakan instrumen penting untuk menciptakan lapangan kerja baru di tengah situasi pandemi virus Corona yang terjadi saat ini.
Ironisnya, ketentuan lingkungan yang bermasalah dalam RUU tersebut justru dapat memperburuk prospek ekonomi industri kelapa sawit. Importir utama minyak sawit seperti Uni Eropa dan Inggris saat ini tengah mempertimbangkan untuk memberlakukan standar lingkungan yang ketat perihal impor pertanian, termasuk juga minyak sawit. Penerapan kebijakan “Tanpa Deforestasi, Tanpa Lahan Gambut, Tanpa Eksploitasi” (NDPE) telah banyak membantu produsen minyak sawit di Indonesia memenuhi standar tersebut. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini kemungkinan besar akan mengakibatkan melonjaknya praktik deforestasi yang dilakukan oleh produsen minyak sawit serta mencemari nama baik industri minyak sawit dan juga para pelanggannya. Unsur-unsur pro-deforestasi pada RUU tersebut juga dinilai mengabaikan moratorium pembukaan hutan untuk pembangunan perkebunan dan kayu yang ditetapkan secara permanen oleh Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 2019 lalu.
Terlepas dari reputasi dan ekonomi yang dipertaruhkan, perusahaan minyak sawit raksasa seperti Wilmar, Golden Agri, Musim Mas, Bunge, Sime Darby dan Louis Dreyfus dianggap gagal dalam menyuarakan keprihatinan mereka tentang RUU Cipta Kerja. Sementara itu, perusahaan produsen barang konsumen seperti Unilever dan Nestlé, yang telah berkomitmen pada kebijakan NDPE, juga tak bersuara mengenai pembahasan RUU tersebut.
Namun, tak semua perusahaan minyak sawit raksasa memilih diam dalam persoalan RUU tersebut. PT Astra Agro Lestari Tbk, yang merupakan anak perusahaan konglomerat asal Inggris Jardine Matheson, telah menyatakan dukungannya terhadap RUU Cipta Kerja. Astra Agro Lestari adalah produsen minyak sawit terbesar kedua di Indonesia dan, melalui Wakil Presiden Direktur Joko Supriyono yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), memiliki pengaruh yang sangat besar baik di sektor minyak sawit maupun pemerintah Indonesia.
Meskipun Astra telah menerapkan kebijakan Nol Deforestasi pada tahun 2015, pada Februari 2020, Supriyono menyatakan dirinya mendukung penuh RUU Cipta Kerja sebagai “solusi atas rumitnya perizinan di sektor kelapa sawit.” Supriyono menambahkan, “GAPKI harus menjadi bagian dari lahirnya Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) dengan turut aktif berkontribusi di dalamnya. Ini tak lain demi kepentingan sektor sawit nasional.” Dengan menyatakan dukungannya tersebut, GAPKI, Supriyono dan Astra Agro Lestari telah mengabaikan dampak yang disebabkan oleh RUU Cipta Kerja terhadap kawasan hutan di Indonesia.
Sektor kelapa sawit harus segera menyadarkan pemerintah Indonesia akan bahaya yang ditimbulkan oleh RUU Cipta Kerja, terutama karena kajian dari pihak pemerintah sendiri mengenai substansi dan implikasi RUU tersebut dinilai belum memadai. Pada bulan Juli lalu, sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah kelompok lingkungan serta masyarakat sipil di Indonesia mengangkat kegagalan tersebut dalam surat publik yang ditujukan kepada pemodal domestik dan internasional. Dalam surat tersebut, mereka memperingatkan bahwa pengesahan RUU tersebut akan menyebabkan “hukum dan peraturan Indonesia yang berlaku tidak lagi mematuhi regulasi pengamanan lingkungan dan sosial yang diakui secara global. ”
Sektor minyak sawit memiliki peluang besar untuk mencegah dampak ekonomi dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh RUU tersebut dengan mengambil langkah-langkah berikut:
- Segera menyampaikan keprihatinannya atas unsur-unsur RUU yang dianggap merusak agenda konservasi hutan dan HAM kepada Presiden Jokowi dan DPR RI
- Mendesak Pemerintah untuk menghentikan proses pembahasan RUU tersebut hingga konsultasi yang memadai telah dilakukan dengan kelompok lingkungan dan masyarakat sipil
- Mengadvokasi kebijakan lingkungan dan pertanian yang mendorong pertumbuhan ekonomi serta melestarikan hutan dan lahan gambut dan mengakui hak tanah masyarakat adat
***
Informasi lebih lanjut hubungi :
Image Dynamics
Ayunda Putri
[1] https://news.mongabay.com/2020/08/indonesia-omnibus-deregulation-bill-pass-october/
[2] https://chainreactionresearch.com/the-chain-main-southeast-asian-deforesters-of-2019-still-supplying-the-ndpe-market/
[3] https://chainreactionresearch.com/report/ndpe-policies-cover-83-of-palm-oil-refineries-implementation-at-75/#:~:text=Key%20Findings,capacity%20in%20Indonesia%20and%20Malaysia.&text=The%20increase%20is%20the%20result,coverage%20falls%20to%2078%20percent.
[4] https://chainreactionresearch.com/the-chain-main-southeast-asian-deforesters-of-2019-still-supplying-the-ndpe-market/
[5] https://www.wri.org/blog/2019/04/world-lost-belgium-sized-area-primary-rainforests-last-year
[6] https://news.mongabay.com/2020/08/indonesia-omnibus-deregulation-bill-pass-october/
[7] https://madaniberkelanjutan.id/2020/05/06/tinjauan-risiko-ruu-cipta-kerja-terhadap-hutan-alam-dan-pencapaian-komitmen-iklim-indonesia
[8] https://madaniberkelanjutan.id/2020/05/22/job-creation-bill-covid-19-and-indonesias-climate-commitment
Menekan Korporasi Demi Menyelamatkan Hutan Amazon dari Kehancuran
Di kala hutan Amazon kembali mengalami gelombang deforestasi, kunci untuk menghentikan tindak eksploitasi tak terkendali ini ternyata dapat ditemukan di Asia Tenggara, di mana kampanye untuk menekan para korporasi serta meminta peningkatan pemantauan pemerintah berhasil memperlambat kerusakan yang disebabkan oleh industri minyak sawit.
OLEH GLENN HUROWITZ • 10 SEPTEMBER 2020
Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Yale Environment 360
Hutan Amazon terbakar lagi. Laju deforestasi bahkan mencapai titik tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Pada bulan Juni, jumlah kebakaran yang dilaporkan meningkat 20 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya, di saat pembakaran hutan Amazon mendominasi pemberitaan media internasional.
Kerusakan yang sebagian besar disebabkan oleh pembakaran hutan untuk membuka lahan untuk industri daging ini telah menyebabkan kepunahan spesies satwa liar, perpindahan masyarakat adat, dan pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah yang besar. Baik di kawasan hutan Amazon maupun secara global, dampak besar deforestasi tampak begitu jelas: Kehancuran ekosistem alami, dan semakin mendekatnya populasi manusia dengan satwa liar, menjadi faktor risiko utama penyebab penyakit yang menular dari hewan ke manusia dan kemungkinan besar berhubungan dengan pandemi Covid-19 yang saat ini tengah terjadi, sama halnya dengan merebaknya penyakit Ebola dan AIDS beberapa tahun silam. Tak hanya itu, kabut beracun yang dihasilkan oleh penggundulan dan kebakaran hutan membuat orang jauh lebih rentan terhadap penyakit pernapasan seperti virus corona.
Meskipun dampak krisis deforestasi hutan Amazon telah meluas, hal ini tentunya merupakan sesuatu yang seharusnya dapat dihindari. Ambillah pelajaran dari belahan dunia lain, yang membuktikan bahwa kita dapat mengubah industri swasta dan memperbaiki tata kelola pemerintahan guna mengurangi laju deforestasi secara drastis.
Di Asia Tenggara, reputasi buruk industri minyak sawit memang layak didapatkan. Dalam kurun waktu beberapa dekade, mereka telah membakar dan membuldoser kawasan hutan seluas lebih dari 30.000 mil persegi dan menggantinya dengan perkebunan monokultur untuk membuat minyak nabati, sabun, dan bahan bakar hayati (biofuel) berbiaya murah. Jika Anda terbang di atas jantung perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, Anda melihat keluar jendela, dan tak dapat melihat apa pun selain perkebunan kelapa sawit yang membentang luas di kawasan yang dulunya merupakan habitat alami orang utan dan harimau. Bagi banyak orang, tindak deforestasi ini lebih dari sekadar statistik: Aksi ini merepresentasikan kehidupan masyarakat adat yang tanah dan mata pencahariannya telah dirampas begitu saja.
Namun, terlepas dari semua tantangan dan risiko yang ada, analisis yang dibuat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Chain Reaction Research menunjukkan bahwa tingkat deforestasi untuk minyak sawit telah turun secara drastis dari angka satu juta hektar per tahun menjadi kurang dari 250.000 hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Meskipun masih angka tersebut masih terlalu tinggi, penurunan ini dapat disebut sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa. Jika menggunakan iklim sebagai analogi, hal ini layaknya menghilangkan polusi dari lebih dari 80 pembangkit listrik tenaga batu bara. Selain itu, kemajuan ini juga mampu menyelamatkan nyawa ribuan orang utan, kanguru pohon dan hewan langka lainnya.
Faktanya, kemajuan ini terjadi karena deforestasi sebenarnya tidak diperlukan untuk pertumbuhan pertanian: Ada lebih dari satu miliar hektar lahan di seluruh dunia yang sebelumnya telah dipersiapkan dan dapat digunakan untuk memperluas kawasan pertanian tanpa harus mengancam ekosistem setempat. Sebagian besar ekspansi pertanian memang terjadi di lahan-lahan ini, dan hanya sebagian kecil produsen yang melakukan ekspansi melalui deforestasi.
Industri minyak sawit berhasil membuat kemajuan yang substansial karena para pelanggan dan pemodal memaksa mereka untuk berubah. Perusahaan perkebunan membutuhkan pelanggan dan pemodal internasional untuk mendanai operasi mereka. Setelah menghadapi kampanye LSM mengenai keterlibatan mereka dalam tindak deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia, sejumlah perusahaan seperti Unilever dan Dunkin' Donuts mengadopsi kebijakan yang melarang pembelian dari pemasok yang terlibat dalam deforestasi untuk minyak sawit. Tekanan tersebut menciptakan sebuah dasar bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk segera bertindak.
Pemantauan oleh industri, pemerintah, dan LSM seperti kami adalah alat utama penegakan hukum. Setiap bulan, organisasi kami, Mighty Earth, untuk memantau wilayah konsesi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia dengan menggunakan satelit dan analisis rantai pasokan untuk mencari bukti terjadinya tindak deforestasi, dan kemudian mengajukan peringatan publik kepada perusahaan-perusahaan besar pembeli minyak sawit.
Biasanya, pihak perusahaan bertindak dalam waktu dua hingga tiga minggu setelah menerima informasi tersebut, lalu memutus kontrak atau melakukan intervensi dengan pemasok mereka sebagai cara untuk menghentikan deforestasi. Jika tidak, kami akan membagikan informasi ini dengan para pelanggan dan pemodal mereka. Di bawah pengawasan seperti ini, perusahaan minyak sawit terbesar dan paling terkenal sekalipun tahu bahwa baik deforestasi maupun perampasan tanah tidak sejalan dengan upaya untuk mempertahankan atau memperluas akses pasar.
Kini, produksi minyak sawit bebas deforestasi telah meluas. Meskipun kami masih menemukan sejumlah perusahaan yang melakukan tindak deforestasi seluas lebih dari 2.500 hektar – seperti Samling Group asal Malaysia dan Mulia Sawit Agro Lestari (MSAL) Group asal Indonesia – jumlahnya relatif sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu.
Pada akhirnya, kemajuan ini, meski belum sepenuhnya selesai, bertumpu pada fakta bahwa para pelanggan dan pemodal telah mengirimkan sinyal jelas kepada korporasi raksasa: Jika Anda melakukan deforestasi untuk mendapatkan kelapa sawit, maka Anda harus berhenti beroperasi. Mereka tahu bahwa jumlah pelanggan yang ingin membeli sebatang sabun atau sekotak kue dari perusahaan yang terlibat dengan aksi perusakan habitat orang utan atau pencurian tanah masyarakat adat tentu tidaklah banyak.
Beragam perubahan di sektor swasta ini, ditambah dengan rasa kekhawatiran masyarakat mengenai maraknya aksi deforestasi serta adanya insentif dari donor internasional, juga mendorong meningkatnya tindakan pemerintah –meskipun belum konsisten – untuk memelihara dan melindungi kawasan hutan. Berbagai perusahaan yang selama bertahun-tahun telah melobi dan menyuap untuk melemahkan penegakan aturan lingkungan hidup sekarang mulai mengadopsi kebijakan sukarela yang lebih kuat, dan tiba-tiba memiliki insentif untuk memastikan bahwa para pesaing mereka juga tunduk pada kebijakan yang sama kuatnya.
Jumlah hilangnya hutan primer di Indonesia mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. GLOBAL FOREST WATCH / WORLD RESOURCES INSTITUTE
Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, muncul sejumlah kebijakan pro-perlindungan hutan yang datang langsung dari pemerintah, seperti: penguatan moratorium deforestasi di tahun 2011, pembasahan kembali ratusan ribu hektar lahan gambut kaya karbon, dan pembekuan perizinan untuk konsesi kelapa sawit baru. Ketika kebakaran hutan sempat merebak tahun lalu di sejumlah kawasan di Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo bergerak cepat untuk menutup lebih dari 60 wilayah konsesi yang terbakar dan mengerahkan militer untuk turut membantu.
Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah turut mempunyai andil besar terhadap penurunan angka deforestasi di Indonesia, yang pada tahun 2019 mencapai level terendah sejak tahun 2003 menurut data dari Global Forest Watch. Meskipun demikian, situasi ini tak seterusnya positif. Setelah terdapat indikasi bahwa pemerintah Indonesia telah mengalihkan dana pencegahan dan pemadaman kebakaran untuk aksi tanggap darurat Covid-19, peringatan titik api dari laboratorium Global Land Analysis and Discovery (GLAD) di Universitas Maryland dan analisis oleh Greenpeace menunjukkan bahwa tindakan deforestasi ilegal di Indonesia melonjak tajam tahun ini. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia juga tengah mempertimbangkan sebuah undang-undang yang akan melucuti upaya perlindungan lingkungan dengan dalih pemulihan Covid-19. Undang-undang baru ini akan mengubah, menghilangkan izin lingkungan yang bersifat wajib, menghapus opsi hukum bagi masyarakat yang menolak proyek baru karena alasan lingkungan, dan membebaskan pihak korporasi dari tanggung jawab hukum atas kebakaran yang terjadi di wilayah konsesi mereka. Menurut analisis dari LSM masyarakat sipil Indonesia, Madani, undang-undang ini juga dapat menghapus perlindungan hukum bagi hutan di berbagai provinsi di Indonesia. Semua perkembangan baru ini memang berisiko memicu kemunduran yang signifikan, namun tetap tak menutup kemungkinan adanya kemajuan di masa depan. Tantangan ini justru mengingatkan kita akan perlunya kewaspadaan dan pemberian tekanan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab secara berkelanjutan.
Asia Tenggara hanyalah salah satu contoh keberhasilan metode ini. Di Afrika, di bawah tekanan dari sejumlah kampanye serupa menyebabkan angka deforestasi di Ghana dan Pantai Gading turun hingga setengahnya tahun lalu. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh industri cokelat yang mulai menegakkan komitmen untuk menghentikan pengambilan kakao dari taman nasional dan kawasan lindung. Industri ban dan karet juga memutuskan untuk bergabung dengan masyarakat sipil dan berkomitmen demi meraih kemajuan serupa di beragam kawasan budidaya karet, terutama di Asia Tenggara dan Afrika Barat. Di hutan Amazon di Brasil, industri pakan ternak setempat kini tunduk pada moratorium deforestasi kedelai yang berlaku sejak 2006. Moratorium ini berhasil memangkas jumlah keseluruhan kedelai yang ditanam di lahan terdeforestasi hingga kurang dari satu persen tanpa mempengaruhi laju pertumbuhan industri tersebut.
Walaupun semua kemajuan ini telah terjadi, kita tidak akan bisa menghalau deforestasi atau perubahan iklim secara lebih efektif hingga industri daging di seluruh dunia berbenah – atau masyarakat bersama-sama mengurangi jumlah konsumsi daging mereka. Daging merupakan penyebab deforestasi terbesar, di mana pakan sapi dan ternak terbukti mendorong lebih banyak deforestasi jika dibandingkan dengan komoditas lainnya. Sebagian besar aksi deforestasi terkait daging terjadi Amerika Selatan. Kegagalan Presiden Brasil Jair Bolsonaro untuk menegakkan perlindungan lingkungan juga dinilai telah memicu meningkatnya kelalaian perusahaan daging raksasa.
Jika kita berbicara lebih lanjut mengenai industri daging, masih terdapat sejumlah perusahaan yang sebelumnya telah memberlakukan beragam kebijakan demi menghapus deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia di sektor minyak sawit, kertas dan kakao yang sayangnya menolak saat dituntut untuk melakukan hal yang sama pada bisnis daging mereka.
Perusahaan penjual daging seperti Costco, Stop & Shop, dan Groupe Casino Prancis sama-sama telah membuat komitmen untuk menghapus deforestasi. Mereka telah menulis surat, mengadakan pertemuan, dan menyatakan rasa kepedulian mereka terhadap para pemasok daging. Tetapi desakan halus tentu saja belum cukup kuat untuk memaksa para perusahaan daging raksasa untuk berubah.
Bahkan, setelah tentang keterlibatan mereka dalam penggundulan hutan, kebakaran, dan perampasan lahan terungkap berulang kali, raksasa daging Cargill dan JBS masih tetap menolak permintaan pelanggan untuk berhenti membeli daging dari pemasok yang ketahuan melakukan pembakaran hutan. Tahun lalu, kepala operasi bisnis dan rantai pasokan Cargill Ruth Kimmelshue menginformasikan kepada saya bahwa perusahaannya tidak menganggap bahwa pelanggan mereka serius saat berbicara mengenai isu lingkungan. Ia juga menambahkan bahwa meskipun sering kali melayangkan protes, para pelanggannya masih terus membeli produk-produk Cargill hingga milyaran dolar.
Sebagai contoh, McDonald's telah berjanji untuk menindak aksi deforestasi seperti apa pun, tetapi masih tetap menjadi salah satu pelanggan terbesar Cargill. Memang, pada dasarnya McDonald's merupakan etalase bagi produk-produk Cargill. Cargill tak hanya memasok ayam dan daging sapi untuk perusahaan makanan cepat saji raksasa tersebut. Cargill juga bertanggung jawab untuk menyiapkan dan membekukan burger dan McNuggets, mengirimkannya ke McDonald's, yang kemudian hanya memanaskan dan menyajikannya kepada pelanggan. Jaringan supermarket Ahold Delhaize – yang memiliki Stop & Shop, Food Lion, Giant, Hannaford, serta merek-merek lainnya – sempat menyatakan keinginannya untuk mengatasi permasalahan deforestasi. Meskipun demikian, mereka meluncurkan sebuah usaha patungan dengan Cargill senilai $ 100 juta pada tahun 2018 lalu untuk mendirikan sebuah pabrik pengemasan daging seluas 200.000 kaki persegi di Rhode Island yang berfungsi sebagai pemasok utama Ahold Delhaize di AS; mereka juga membeli daging hingga ratusan juta dolar dari JBS, salah satu perusahaan pendorong deforestasi terbesar di Brasil.
Akan tetapi, ketidakacuhan ini kemungkinan akan segera berubah: Pada bulan Desember, Nestlé mengumumkan akan berhenti membeli kedelai dari Cargill Brasil, meskipun Nestlé tampaknya masih terus berbisnis dengan Cargill di sektor lain. Dan pada musim panas ini, Grieg Seafood secara eksplisit mengeluarkan Cargill dari daftar penerima obligasi hijau senilai $ 105 juta karena dugaan tindak deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Jika perusahaan-perusahaan lebih berani untuk memberikan konsekuensi komersial kepada para pemasok mereka, krisis seperti terbakarnya hutan Amazon dapat segera hilang dari dunia ini. Seperti halnya industri lain, industri agribisnis tidak akan mampu melakukan deforestasi jika tidak kita biarkan.
Setahun sejak pembakaran di hutan Amazon menjadi buah bibir global, sejumlah merek besar ikut menyatakan komitmennya untuk melawan deforestasi di dekade yang akan datang. Namun kebanyakan dari perusahaan-perusahan tersebut masih lebih banyak berbicara, bukan bertindak, dan kami tahu bahwa para pelaku deforestasi akan terus melakukan perusakan lingkungan selama mereka masih dapat meraih keuntungan.
Cara satu-satunya untuk mengakhiri semua kerusakan dan kehancuran ini adalah dengan membuat aksi destruktif tersebut tak lagi menguntungkan. Seperti halnya minyak sawit, titik lemah para pelaku deforestasi adalah pelanggan mereka – supermarket dan pemasok yang telah berkomitmen untuk menjunjung tinggi keberlanjutan serta reputasi mereka demi mempertahankan pelanggan. Masyarakat awam mungkin tidak pernah mendengar nama Cargill, namun mereka tetap bisa memilih di supermarket mana mereka berbelanja. Perusahaan-perusahaan seperti Costco atau Ahold Delhaize sangat membutuhkan kepercayaan dari para pelanggan mereka dan tentunya tak ingin nama baik mereka terkait dengan kehancuran hutan Amazon. Baik karena dedikasi yang tulus maupun karena tekanan yang keras dari LSM dan pelanggan mereka sendiri, para perusahaan ini harus segera bertindak keras dan berani untuk membatalkan kontrak. Ketika terjadi pergerakan di bisnis ini, kita akan mulai melangkah lebih maju menuju transformasi industri yang lebih luas.
Analisis Baru: Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru ‘Tidak Dibutuhkan’
Memberikan Suplai Tenaga Berlebih dan mengancam kepunahan kera besar pertama yang tercatat sejarah
JAKARTA, 22 JANUARI 2020 – Laporan yang akan dirilis oleh konsultansi internasional terkemuka menyatakan bahwa proyek pembangkit listrik tenaga air Batang Toru senilai 1.6 juta dollar Amerika yang direncanakan untuk dibangun di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, bukan hanya tidak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Indonesia atau Sumatra Utara di masa depan, tetapi juga mengancam ekosistem lokal serta orangutan Tapanuli yang terancam kritis. Laporan tersebut menemukan bahwa para pendukung dam telah merepresentasikan secara keliru, melebih-lebihkan, dan membuat-buat alasan untuk pembangunan dam.
Laporan yang berjudul “Analysis of Electricity Demand in North Sumatra Province and the Planned Batang Toru Hydroelectric Power Plant’s Impacts,” (Analisis Kebutuhan Listrik di Provinsi Sumatra Utara dan Dampak Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru) oleh penulis Dr. David Brown menemukan bahwa:
- Sumatra Utara hampir sepenuhnya terelektrifikasi, dan pemadaman bergilir sudah tidak terlalu banyak terjadi. Provinsi ini bahkan memiliki surplus energi. Dengan tambahan pembangkit listrik peak power bertenaga gas di 2017 dan perbaikan lain dalam infrastruktur jaringan, pembangunan Batang Toru tidak akan meningkatkan akses atau rata-rata suplai energi di provinsi ini.
- Batang Toru tidak akan menggantikan “pembangkit listrik bertenaga diesel yang disewa dari luar negeri,” karena nyatanya, tidak ada pembangkit listrik seperti yang disebutkan di Sumatra Utara. Yang ada adalah pembangkit listrik terapung tenaga gas sewaan. Bagaimanapun, implikasi perubahan iklim dan neraca pembayaran dari menggunakan bahan bakar gas berbeda dengan diesel.
- Terdapat klaim yang menyatakan bahwa dengan mengoperasikan Batang Toru akan menghasilkan reduksi sangat kecil .0016 hingga .0022 gigaton emisi CO2 per tahun. Angka yang sangat kecil ini bahkan merupakan overestimasi. Reduksi yang mungkin terjadi oleh Batang Toru kemungkinan besar berada di antara angka .0007 hingga .001 gigaton CO2 per tahun. Terlepas dari itu, reduksi emisi potensial merepresentasikan hanya sepersepuluh dari emisi tahunan Indonesia, dengan biaya lingkungan yang sangat besar.
- Terlepas dari upaya para pemilik dan pendukung Batang Toru untuk memperlihatkan citra Batang Toru sebagai penghasil peak power, hanya setengah dari output-nya yang merupakan peak power. Sisanya adalah baseload power.
- Kebutuhan terhadap kapasitas peak power Batang Toru yang diusulkan sudah semakin bekurang, karena adanya pembangkit listrik terapung tenaga gas 240 MW, dan kemungkinan pembangunan pembangkit listrik peak power tenaga gas 800 MW yang akan mulai beroperasi pada 2022 (diperkirakan 200 MW), 2024 (diperkirakan 300 MW) dan 2028 (diperkirakan 300 MW). Seperti Batang Toru, pembangkit listrik tenaga gas ini menghasilkan peak power pada malam hari dan bisa juga pada siang hari jika dibutuhkan.
- Kontribusi Batang Toru yang diajukan pada baseload power provinsi sendiri sudah tidak diperlukan karena operasi pembangkit listrik geothermal 330 MW Sarulla pada 2017 dan 2018, dan mungkin akan makin tidak diperlukan lagi setelah “ekspansi” 300 MW Sarulla yang dimulai pada 2022, serta “kemungkinan besar” pembangunan pembangkit geothermal 240 MW di Sorik Marapi. Opsi lain yang baik untuk produksi peak power saat siang hari adalah tenaga matahari, yang perlu diberikan perhatian lebih lanjut oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan PLN.
- Batang Toru tidak akan menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga diesel, dan juga tidak akan meringankan dampak neraca pembayaran negatif negara yang disebabkan oleh impor diesel. Tetapi, modal tinggi yang diperlukan untuk membangun Batang Toru akan berdampak pada keluarnya sejumlah besar dollar dari Indonesia ke rekening bank kontraktor Tiongkok yang akan membangun pembangkit listrik tersebut selain juga perusahaan induk Tiongkok yang memiliki mayoritas pembangkit listrik, seluruhnya merugikan neraca pembayaran Indonesia.
- Sinohydro, kontraktor yang akan membangun Batang Toru memiliki rekam jejak global terkait penipuan, praktik non-standar, dan korupsi di tiga benua, seluruhnya memperlihatkan bahwa Batang Toru memiliki resiko konstruksi dan operasi yang signifikan.
- Proyeksi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan yang terlalu besar tentang kebutuhan energi mungkin telah berkontribusi terhadap konstruksi pembangkit listrik di Sumatra Utara yang terlampau banyak. Hal ini mungkin memiliki sisi positif, seperti banyaknya pengganti yang tersedia untuk peak power (Poin 5 di atas) dan baseload power (Poin 6 di atas) yang seharusnya dihasilkan oleh Batang Toru, namun tanpa mengancam kekayaan nasional Indonesia yang terkenal, orangutan Tapanuli yang terancam punah.
Advokat perlindungan orangutan Tapanuli telah membaca penemuan-penemuan laporan ini dan menyerukan penghentian bagi proyek ini.
Laporan baru ini dibuat oleh Dr. David W. Brown, seorang principal di Brown Brothers Energy and Environment (B2E2). Dr. Brown, yang memiliki pengalaman selama 20 tahun dalam konsultansi bagi klien di sektor publik dan privat mengenai pengelolaan dan tantangan lingkungan sektor sumber daya alam Indonesia, akan hadir di Jakarta pada tanggal 22 Januari untuk mempresentasikan laporan tersebut dan mendiskusikan temuan-temuannyaa dengan pers lokal dan internasional. Ia juga akan ditemani oleh Mimi Surbakti dari Srikandi Lestari Sumatra Utara yang berfokus pada promosi pengembangan energi bersih, Tri Mumpuni, seorang ahli microhydro, dan Iqbal Damanik dari Auriga.
Latar Belakang
Dam hidroelektrik 1.6 miliar dollar Amerika Serikat North Sumatra Hydro Energy (NSHE) yang direncanakan pertama kali diumukan pada tahun 2012 dan dijadwalkan untuk rampung pada 2022.
Bagaimanapun, banyak pemberi pinjaman dana tradisional yang menolak untuk mendanai proyek ini dikarenakan oleh ancaman yang disproporsional bagi orangutan dan minimnya manfaat proyek. Bank pembangunan multilateral seperti World Bank Group telah menarik diri dari proyek, seperti bank-bank investasi swasta lain seperti Goldman Sachs. Asian Infrastructure Investment Bank juga dilaporkan telah menolak pendanaan proyek. Walaupun kontraktor milik Negara Tiongkok Sinohydro akan menangani konstruksi proyek, Bank of China baru-baru ini menyatakan bahwa mereka pun telah mengundurkan diri dari pendanaan proyek dam hidroelektrik ini.
Proyek ini akan meliputi pembangunan gardu listrik, gardu induk, terowongan headrace dan tailrace, reservoir, pelimpah serta infrastruktur pendukungnya, instalasi turbin, generator dan transformer, dan peletakan jalur transmisi.
Dampak Lingkungan
Sejak pengumuman pertamanya pada tahun 2012, proyek ini telah menjadi target kritik, terutama dari advokat lingkungan yang menyatakan bahwa dam ini akan mengancam ekosistem hutan di areanya selain juga kehidupan dan penghidupan penduduk lokal di area hilir sungai yang bergantung pada ekosistem sungai dalam cara mereka bertahan hidup, seperti contohnya perikanan, agrikultur, transportasi, dan kebutuhan air. Misi pencarian fakta pada tahun ini menemukan kekhawatiran yang signifikan dari warga lokal mengenai proyek ini. Banyak dari mereka yang telah bergabung dengan oposisi dari advokat-advokat lingkungan internasional untuk menuntut penghentian proyek.
Oposisi ini semakin intens setelah ditemukan bahwa area hutan Batang Toru, situs pembangunan proyek ini, juga merupakan habitat dari spesies orangutan yang baru ditemukan (Pongo tapanuliensis), yang hanya hidup di hutan tersebut. Para advokat lingkungan dan ahli fauna menyatakan bahwa konstruksi dam di Sungai Batang Toru akan memisahkan habitat orangutan ini secara permanen dengan mengurangi keterhubungan antara populasi dan berkontribusi terhadap kepunahan spesies langka ini yang saat ini memiliki populasi kurang dari 800 individu – kera besar paling terancam punah di dunia.
Selain merupakan habitat satu-satunya orangutan Tapanuli, ekosistem Batang Toru juga sangat beragam secara biologis, dengan 310 spesies burung, 80 spesies reptil, 64 spesies katak dan kodok, dan lebih dari 1000 spesies pohon.1 Area ini juga merupakan habitat dari enam spesies terancam dan rentan seperti siamang (Symphalangus syndactylus) dan owa ungko (Hylobates agilis) selain orangutan Tapanuli, menjadikannya salah satu dari sedikit area di dunia di mana tiga spesies kera bisa hidup berdampingan. Ekosistem Batang Toru juga merupakan habitat dari harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus) dan burung-burung seperti Kuau Raja (Argusianus argus).
Analisis Baru
Setelah kontroversi berkelanjutan ini, laporan dari Brown bertujuan untuk memperhitungkan signifikansi pembangunan proyek NSHE ini dibandingkan dengan dampak negatif yang bisa dibawanya.
“Dari perspektif teknis, proyek pembangkit listrik tenaga air Batang Toru tampak dirancang dengan baik”, ungkap laporan tersebut. “Bagaimanapun, infrastruktur proyek tersebut akan menghancurkan atau mengisolasi tiga dari lima blok habitat spesies orangutan Tapanuli yang baru ditemukan—salah satu dari tujuh spesies kera besar di bumi (atau salah satu dari delapan jika manusia disertakan)”, berikut peringatan laporan tersebut.
Laporan ini mengidentifikasi ancaman spesifik pada orangutan Tapanuli, dengan menyebut bahwa spesies langka tersebut “hidup di dataran rendah di mana infrastruktur terkait proyek Batang Toru akan dibangun, serta tiga area dataran tinggi yang berdekatan.”
Orangutan Tapanuli sangat rentan karena populasinya yang terfragmentasi, dan laporan ini menyatakan bahwa proyek Batang Toru akan memengaruhi setidaknya salah satu dari tiga kelompok tersebut. “Pendukung dan penolak Batang Toru cenderung sepakat,” ungkap laporan ini, “bahwa infrastruktur dam akan menyebabkan perpindahan atau bahkan di beberapa kasus kematian dari orangutan yang tinggal di zona ketiga, selain juga isolasi genetis permanen orangutan di zona keempat dan kelima—dengan total lebih dari 70 individu.
Kesimpulan
Analisis baru ini sangat tegas terhadap temuannya: “Mungkin terdapat alasan untuk pembangunan dam listrik tenaga air Batang Toru ketika ia pertama kali diajukan pada 2012, sebelum adanya identifikasi orangutan Tapanuli dan dengan situasi energi yang sangat berbeda. Bagaimanapun, alasan dan kepentingan ini tidak lagi relevan pada tahun 2020.”
"Hasil riset ini membuktikan bahwa PLTA Batang Toru bukanlah infrastruktur yang dibutuhkan Sumatra Utara, sehingga selanjutnya kita harus membuktikan siapa yang diuntungkan dari dipaksakannya pembangunan ini,” ungkap Iqbal Damanik dari Auriga.
”Saya senang pembangkit [listrik] yang sustainable, environmentally friendly, dan pollutant-free. Microhydro dan minihydro, run off type adalah jawabannya sebab Indonesia [memiliki] banyak sungai dan ini harus dijaga dengan catchment area yang benar agar debit airnya terus mengalir seperti yang sudah direncanakan” ungkap Tri Mumpuni.
Mimi Surbakti juga menyatakan, ”Pemenuhan energi listrik harusnya tidak mengorbankan kelestarian lingkungan yang berdampak pada pemunahan satwa langka yang dilindungi. Pemerintah harusnya mampu memberikan keadilan ekologi untuk menyelamatkan ruang hidup bagi masyarakat dari sumber- sumber kehancuran dan eksploitasi alam.”
Kesimpulan dari laporan ini menyatakan bahwa, “Pendukung Batang Toru berargumen bahwa membawa spesies Orangutan Tapanuli ke ambang kepunahan adalah konsekuensi yang layak untuk diambil untuk mendukung kebutuhan tenaga masa kini dan masa depan di Sumatra Utara. Para pendukung ini mengutarakan mengenai apa yang mereka anggap sebagai manfaat dalam bidang mitigasi perubahan iklim, peak power, dan neraca pembayaran dari Batang Toru. Seluruh argumen tersebut telah dibahas dan dibuktikan kurang kuat.”(*)
Informasi lebih lanjut silakan hubungi :
Ayunda Putri
Image Dynamics
0812 200 1411 [email protected]
Investigasi Menunjukkan Operator Minyak Kelapa Sawit Terbesar di Papua Menghancurkan Sejumlah Besar Wilayah Hutan Hujan yang Terancam, Menipu dan Menganiaya Penduduk Asli
Terlepas dari penyensoran signifikan, penemuan yang baru dipublikasikan oleh Forest Stewardship Council memperlihatkan bahwa Korindo Group merusak lebih dari 30.000 hektar hutan hujan dalam jangka waktu lima tahun terakhir, memanipulasi secara sistematis dan membayar dengan tidak layak pemilik lahan asli.
BONN, JERMAN – Pada hari ini, Forest Stewardship Council (FSC), lembaga sertifikasi global untuk pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, mempublikasikan ringkasan penemuannya dari investigasi sepanjang dua tahun yang dimulai oleh pengaduan Mighty Earth mengenai Korindo Group, konglomerat minyak kelapa sawit Korea-Indonesia yang memiliki reputasi buruk.
“Seriusnya pelanggaran yang dilakukan Korindo seperti terungkap pada laporan ini sungguh mengejutkan, bahkan setelah FSC dan Korindo menyensor lebih dari 110 halaman temuan tersebut,” ungkap Deborah Lapidus, Senior Campaigns Director Mighty Earth. “Korindo telah lama membenarkan perusakan area besar hutan hujan yang belum terjamah atas dasar ‘pembangunan’, walau kenyataannya sebaliknya. Investigasi ini memperlihatkan bagaimana Korindo berusaha keras untuk memanipulasi, mengintimidasi, dan menipu masyarakat lokal. Tidak ada pembenaran untuk FSC mendukung upaya Korindo untuk menutupi laporan lengkap, karena praktik semacam ini sudah sangat lumrah di Papua dan jarang terekspos. Remediasi bagi masyarakat setempat seharusnya telah dilakukan semenjak lama, dan publikasi utuh serta faktual dari hasil temuan FSC akan membawa hasil positif.”
Selama bertahun-tahun, bahkan saat Korindo terlibat dalam deforestasi berskala besar di Papua dan Maluku Utara, Indonesia, seperti didokumentasikan oleh Mighty Earth, perusahaan ini mendapat keuntungan dari label prestisius FSC untuk melakukan perdagangan kayu gelondongan, kayu lapis, kayu pulp, biomassa, dan kertas koran pada konsumen seperti Asia Pulp & Paper dan APRIL (Indonesia), Sumitomo Forestry, Oji Corporation, dan Marubeni (Jepang), serta News Corps Australia.
FSC mengutus Complaints Panel (panel pengaduan) untuk melakukan investigasi sebelum kemudian dilakukan dua investigasi atas tuduhan Mighty Earth kepada Korindo.
Mighty Earth telah secara konsisten meminta pada FSC untuk mempublikasikan hasil temuannya secara utuh. Laporan utama Complaints Panel, yang seutuhnya memiliki panjang 110 halaman dan dijadwalkan untuk dipublikasikan pada tanggal 5 September, dibatalkan setelah FSC menerima somasi dari Korindo. Dokumen yang dipublikasikan oleh FSC kini telah diperpendek menjadi rangkuman satu halaman semata. Ringkasan dari dua investigasi tambahan mengandung sejumlah redaksi yang oleh FSC dinyatakan dilakukan “atas ketidaksetujuan dari Korindo”.
Meskipun begitu, laporan parsial ini tetap memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan, dengan kesimpulan bahwa Korindo bersalah dalam tidak mengindahkan standar FSC dengan melanggar hak-hak masyarakat asli, melakukan konversi lahan hutan alami secara signifikan, dan merusak sejumlah besar wilayah dengah High Conservation Value (nilai konservasi tinggi/HCV). Laporan ini memperlihatkan tentang perusakan lebih dari 30.000 hektar hutan hujan dan habitat spesies terancam punah selama lima tahun ke belakang (lebih dari 50.000 hektar secara keseluruhan), kegagalan berulang dalam memenuhi Free, Prior, and Informed Consent (kesediaan sukarela tanpa paksaan/FPIC) masyarakat asli mengenai pembangunan di lahan mereka, kerusakan permanen pada ekosistem dan batas air yang berujung pada hilangnya akses masyarakat pada kebutuhan dasar mereka termasuk tanah, pangan, air, serta penghidupan, dan pembayaran tidak layak pada masyarakat atas sumber daya alam mereka. Atas hasil dari temuan-temuan ini, Complaints Panel merekomendasikan “Pemberhentian asosiasi Korindo dengan FSC dikarenakan oleh bukti-bukti jelas dan meyakinkan mengenai pelanggaran THR [Traditional and Human Rights/Hak Asasi Manusia dan Tradisi] (di samping konversi lahan signifikan)” seperti dinyatakan pada laporan Analisis Sosial yang dirilis FSC pada hari ini (halaman 41).
Meski ada rekomendasi tersebut,, Dewan FSC memutuskan untuk mencapai persetujuan dengan Korindo dalam upaya dan peningkatan remediasi. Pada Juli 2019, Dewan FSC mengumumkan bahwa kelanjutan asosiasi Korindo dengan FSC “bergantung kepada kepatuhan Korindo terhadap ketentuan ketat penanggulangan dan perbaikan sosial dan lingkungan. Pada hari ini, FSC menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan tersebut.
Upaya remediasi yang dipaparkan hari ini tidak proporsional dengan pelanggaran ekstrim yang diungkapkan di laporan investigasi,’ ungkap Lapidus. Khususnya, mereka tidak memuat penanggulangan dan peraikan untuk 50.000 hektar lahan hutan hujan yang dibuka oleh Korindo beserta kerusakan yang dihasilkannya pada sungai dan ekosistem, yang tentu melanggar standar FSC. Patut diperhatikan juga bahwa aksi pertama yang Korindo lakukan setelah mencapai persetujuan dengan FSC adalah mengintimidasi FSC untuk menyensor rincian mengenai pelanggaran-pelanggaran yang mereka perbuat serta dampaknya pada masyarakat. Sederhananya, Korindo tidak memiliki keseriusan dalam bertanggung jawab penuh atas pelanggaran yang dilakukannya terhadap standar FSC.
Pernyataan FSC menyatakan bahwa upaya remediasi spesifik akan ditentukan oleh proses “roadmap” bersama stakeholder-stakeholder yang dipimpin oleh FSC. Hingga saat ini, FSC belum merilis informasi lebih lanjut mengenai proses ini.
Pada bulan September, ketika FSC pertama kali menunda publikasi material ini, tuntutan Mighty Earth untuk akuntabilitas dan transparansi juga diserukan oleh organisasi-organisasi masyarakat di Papua:
“Korindo telah merusak tanah dan penghidupan masyarakat tanpa persetujuan, merampas sumber daya alam masyarakat lokal, melakukan kekerasan dan intimidasi pada masyarakat, serta mencemari sungai mereka—sembari mempekerjakan sejumlah besar orang dari luar Papua. Korindo juga tidak menganggap serius tanggung jawab sosial perusahaannya,” ungkap Pastor Anselmus Amo dari SKP-KAMe-Merauke, organisasi HAM berbasis Papua. “FSC harus melakukan konsultasi langsung dengan masyarakat yang terpengaruh dampak praktik mereka untuk mengerti lebih baik mengenai operasinya yang merugikan dan pandangan masyarakat lokal soal kompensasi dan remediasi yang adil. Kami siap untuk membantu resolusi dari konflik berkepanjangan ini””
“Selama dua dekade, praktik perusakan lahan masyarakat asli yang dilakukan oleh Korindo telah lolos dari pemberitaan, dengan Korindo yang memposisikan diri di media sebagai penyelamat masyarakat Papua,” ungkap Franky Samperante dari Yayasan Pusaka, organisasi yang berjuang untuk mempertahankan hak kepemilikan tanah adat di Papua. “Dunia perlu mengetahui kenyataan tentang apa yang terjadi di Papua dan Maluku Utara.”
“Korindo sebelumnya telah berupaya untuk mengemas konklusi FSC sebagai pembebasan dari tuduhan, tetapi temuan yang dirilis pada hari ini membuktikan bahwa klaim tersebut sepenuhnya tidak benar,” ujar Lapidus. “Jika Korindo memang bersungguh-sungguh ingin membersihkan reputasinya yang tercemar, ia harus berhenti menyangkal kesalahannya, memberlakukan transparansi, mengindahkan standar remediasi dan kompensasi FSC, serta menyelesaikan isu keluhan masyarakat—termasuk dengan cara mengembalikan tanah adat. Sebelum Korindo melakukan hal-hal tersebut, tidak seharusnya ada perusahaan yang melakukan bisnis dengan Korindo”.
“FSC harus berhenti berlaku sebagai pembela industri dan mempublikasikan temuannya secara utuh. Masyarakat yang terkena dampak dan konsumen Korindo layak mengetahui kebenaran. FSC harus secapatnya melakukan proses memperoleh solusi untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, dengan konsultasi penuh dari masyarakat yang terpengaruh,” ujar Lapidus.
Sejumlah kutipan yang mengungkapkan fakta dari laporan publik (penekanan ditambahkan) termasuk:
“Rekomendasi dari Complaints Panel dipaparkan secara jelas dalam ringkasan eksekutif laporan mereka (hal. 8-9): bahwa asosiasi FSC dengan Korindo harus dihentikan dikarenakan oleh bukti-bukti jelas dan meyakinkan mengenai pelanggaran THR [Traditional and Human Rights/Hak Asasi Manusia dan Tradisi] (di samping konversi lahan signifikan).”
‘Konversi dianggap signifikan dikarenakan skala sebesar lebih dari 30.000 hektar di antara faktor lainnya, disebabkan oleh kegagalan melindungi area vegetasi alami dan dampak yang dihasilkan terhadap masyarakat lokal, terutama kegagalan kompensasi pemilik lahan secara layak untuk kayu gelondongan yang diambil.”
“Satu-satunya kesimpulan yang mungkin diambil adalah bahwa telah dilakukan pelanggaran ekstensif terhadap hak-hak yang merupakan bagian dari sistem FSC, juga standar-standar sejenis…antara lain hak tanah, hak FPIC, dan hak yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.”
‘Sebagai hasil dari pelanggaran-pelanggaran ini, masyarakat yang terpengaruh telah mengalami kerugian serius. Hal ini meliputi ancaman dan dalam beberapa kasus penggunaan kekerasan, dalam suasana intimidatif berkelanjutan (melebihi situasi keamanan lokal yang berlaku); ketidakmampuan untuk memberlakukan hak mereka untuk menentang konsesi; dan kompensasi yang sangat tidak sebanding, diterima oleh sangat sedikit anggota masyarakat, dengan sedikit pengetahuan atau partisipasi sejumlah besar masyarakat. Seperti yang disimpulkan Complaints Panel FSC, analisis tambahan ini menemukan bahwa terdapat dasar yang kuat dan mencukupi untuk diasosasi seluruh perusahaan yang terlibat dengan pelanggaran-pelanggaran serius ini.’
“Aktivitas Korindo meliputi pembukaan lahan dengan luas signifikan di Hutan Hujan Dataran Rendah New Guinea Selatan yang menurut klasifikasi Global 200 merupakan lahan terancam/kritis…Selain itu, konversi yang dilakukan kemungkinan besar merusak sejumlah area yang menyediakan sumber daya alam yang penting bagi masyarakat lokal.”
“Terdapat bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa HCV ini, dalam segala aspek, telah rusak. Usaha rehabilitasi akan mendorong pemulihan, tapi dalam konteks ekologis, lanskap ini telah berubah secara permanen karena aktivitas komersial Korindo.”
“Pembukaan area tepi pantai (aliran air, sungai, mata air, dan pinggir danau) tidak konsisten dengan hukum Indonesia.”
“Transformasi hampir keseluruhan dari semenanjung selatan Pulau Halmahera dari gabungan antara hutan basah Maluku diselingi dengan kultivasi berganti dan hutan kelapa kecil hingga produksi minyak kelapa sawit monokrop berskala besar memiliki pengaruh yang signifikan bagi lanskap. Bukti dan kronologi dari perubahan permanen pada lanskap sangat jelas dan singkat…Hilangnya HCV 1 seharusnya dianggap sebagai kerusakan karena area tersebut tidak memungkinkan untuk dikembalikan pada kondisi semula atau direhabilitasi. Konversi dari konsesi PT GMM memberikan situasi yang unik karena ia telah mengubah lanskap seluruh bagian selatan pulau yang juga mendominasi seluruh bagian utara area tepi pantai.”
Perusahaan juga direkomendasikan untuk memulai proses pemulihan formal dengan masyarakat yang bersangkutan. Laporan dari Complaints Panel telah secara rinci memverifikasi dan menjelaskan pola lebih luas dan tindakan individual pelanggaran yang terjadi, seperti yang sebelumnya telah dideskripsikan dan dikumpulkan dengan sejumlah besar bukti pendukung di dalam laporan asli dan pengaduan. Tidak ada lagi ruang untuk meragukan bahwa sejumlah pelanggaran ini memang benar terjadi.’ ‘Tidak ada alasan apapun untuk menunda lebih jauh proses pemulihan yang kini diharuskan, berdasarkan dari dialog bersama masyarakat yang terpengaruh sebagai respon dari berbagai pelanggaran yang telah berulang kali teridentifikasi, terkait akuisisi lahan, proses FPIC dan perlindungan HCV. Proses pemulihan harus dimulai bersama dengan seluruh masyarakat yang terpengaruh, seperti yang dijabarkan pada dokumen ini telah mengutarakan ketidakbahagiaan, keluhan, dan frustrasi terhadap dampak dari operasi, dan/atau tuduhan subtansial mengenai pelanggaran THR [Traditional and Human Rights/Hak Asasi Manusia dan Tradisi] mereka’.
Baca kutipan dan latar belakang lebih lanjut di sini
Ekosistem Batang Toru Semakin Terancam
Pernyataan sikap atas kesepakatan baru antara NSHE dengan PanEco yang mengatasnamakan perlindungan Orangutan Tapanuli
Sudah dipastikan akan terjadi pertikaian panjang demi menyelamatkan spesies orangutan langka yang baru saja ditemukan dari kepunahan di tangan proyek waduk seharga 1.6 juta US Dollar yang dibangun oleh PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Proyek kontroversi yang didanai oleh pihak luar negeri memunculkan banyak polemik di tengah temuan dari para ahli bahwa pembangunan tersebut dapat mengakibatkan hilangnya populasi Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis), yang telah ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUNC) sangat langka (critically endangered). Belum ditambah sederet ancaman bencana lingkungan yang diprediksi akan terjadi akibat perubahan ekosistem, dari gempa bumi hingga ancaman sosial ekonomi masyarakat terdampak.
Bagaimanapun, perusahaan terus mengabaikan peringatan darurat yang diberikan para ahli dan menyerahkan keputusan pada Presiden Jokowi. Organisasi lokal maupun internasional telah melakukan berbagai macam protes untuk melindungi Orangutan, salah satunya Orangutan Information Centre (OIC) dan Center of Orangutan Protection (COP), and Mighty Earth.
Baru-baru ini secara mengejutkan muncul sebuah siaran pers yang mengatakan bahwa terdapat kesepakatan antara NSHE dan PanEco, salah satu LSM asal Swiss yang sebelumnya menyatakan proyek tersebut sebagai “ancaman terbesar jangka Panjang dari Orangutan Tapanuli”. Tentu saja kesepakatan tersebut memunculkan banyak pertanyaan di kalangan organisasi lingkungan baik lokal maupun internasional.
Glenn Hurowitz, CEO Mighty Earth, menyatakan kekecewaannya, “Ini cukup memalukan bagaimana akhirnya PanEco menyerah atas intimidasi alih-alih melaporkan tindakan perusahaan tersebut ke KPK maupun polisi. Pihak berwenang di Indonesia dan Swiss harus segera menginvestigasi kesepakatan kotor ini dan menuntut NSHE untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan di ekosistem Batang Toru. Sikap PanEco atas kesepakatan yang seolah-olah melindungi lingkungan ini seharusnya tidak mengaburkan fakta bahawa menurut Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dimiliki NSHE, proyek PLTA tersebut dibangun di tempat dengan kepadatan hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata di ekosistem Batang Toru.”
Sikap yang ditunjukan PanEco dengan menerima tawaran NSHE perlu diteliti lebih lanjut karena selama ini PanEco konsistem dalam komitmen menjaga ekosistem Batang Toru. Masih tertera jelas dalam websitenya bahwa pembangunan PLTA di lokasi tersebut menjadi ancaman jangka panjang terbesar bagi kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli.
“PLTA yang sedang dibangun baru-baru ini di sepanjang sungai Batang Toru merupakan ancaman jangka Panjang terbesar bagi Orangutan Tapanuli. Proyek tersebut dicanangkan di area dengan kepadatan Orangutan tertinggi dan biodiversity yang sangat berharga dari seluruh ekosistem. Sekitar 10% dari Orangutan tinggal di area tersebut. Konstruksi dari PLTA dan infrastruktur terkaitnya, jalur listrik, dan spekulasi lahan yang terkait akan mengakibatkan fragmentasi cukup parah dari hutan hujan dan mengisolasi populasi Orangutan Tapanuli, membuatnya rentan punah,” Bahkan PanEco merumuskan rekomendasi sebagai respon atas ditemukannya species langka tersebut yakni mengentikan pembangunan bendungan, seluruh area dilindungi dan koridor yang menyambungkan habitat antara blok barat dan timur perlu segera dibangun.
“Fakta-fakta tersebut belum berubah dan PLTA ini adalah ancaman besar bagi Orangutan Tapanuli yang masih tersisa. Kesepakatan kotor ini juga tidak menyembunyikan fakta bahwa proyek tersebut tidaklah diperlukan mengingat Sumatera masih memiliki Sarulla Geothermal yang dapat ditingkatkan kapasitasnya dan mampu menyediakan listrik dengan mengurangi karbon secara signifikan tanpa menganggu habitat Orangutan Tapanuli. Pemerintah Indonesia perlu menginvestigasi lebih dalam atas integritas proses pembuatan keputusan yang mengijinkan proyek tersebut,” lanjut Glenn.
Kesepakatan tersebut menodai perjuangan perlindungan ekosistem di Batang Toru khususnya habitat Orangutan Tapanuli yang terancam punah. Banyak studi dari para ahli lingkungan yang menyatakan bahwa proyek tersebut dianggap mengecilkan dampak kerusakan lingkungan, ekosistem serta masyarakat sekitar sungai. Diantaranya tercantum dalam sebuah artikel yang ditulis oleh beberapa ilmuwan Sean Sloan, Jatna Supriatna, Mason J. Campbell, Mohammed Alamgir, dan William F. Laurance dalam jurnal biologi pada tahun 2018 lalu, “Pada akhirnya, proyek PLTA yang diajukan seharusnya dibatalkan. Proyek tersebut akan merubah setidaknya 8% (96 km²) dari habitat Orangutan yang berkualitas di tahun 2022 nanti. Maka kami sangat tidak menyarankan proyek ini untuk dilanjutkan.”
Namun di tengah ancaman bahaya yang disuarakan oleh para pegiat lingkungan, proyek pembangunan terus berjalan dan diperkirakan selesai tahun 2022. Di lain sisi, yang mereka tentang bukanlah proyek yang digadang-gadang sebagai bagian dari Program Prioritas Nasional Ketenagalistrikan 35.000 MW dan penghematan negara di berbagai sektor. Namun masalah utama yang perlu diingat oleh semua pihak adalah lokasi yang akan sangat berdampak buruk terhadap lingkungan di masa depan.
“Kami harap Presiden Jokowi akan melanjutkan usahanya untuk menjaga ‘Wonderful Indonesia’, mendukung dan berjuang memerangi korupsi dengan menghentikan proyek PLTA Batang Toru untuk melindungi kekayaan bangsa dan mendukung infrastruktur ramah lingkungan,” tutup Glenn.(*)
Informasi lebih lanjut, silakan hubungi :
Image Dynamics - Ayunda Putri - [email protected]
Produsen Minyak Sawit Raksasa Korindo Dinyatakan Bersalah atas Tuduhan Perusakan Hutan Hujan dan Pelanggaran HAM
Forest Stewardship Council menemukan bahwa Korindo telah melanggar standar organisasi dan menganjurkan langkah-langkah dan remediasi untuk menghindari disasosiasi
Setelah proses investigasi yang berlangsung selama dua tahun atas pengaduan yang diajukan oleh Mighty Earth, Board of International Directors dari Forest Stewardship Council (FSC), sebuah badan sertifikasi global yang memastikan pengelolaan hutan secara bertanggung jawab, hari ini menindaklanjuti kasus Korindo Group yang telah lama tertunda.
Korindo Group adalah konglomerat penebangan dan kelapa sawit Korea-Indonesia yang selama ini terlibat dalam deforestasi berskala besar di Papua dan Maluku Utara, Indonesia. Keterlibatan perusahaan ini terungkap dalam laporan berjudul “Burning Paradise” yang disusun oleh Mighty Earth. Selama bertahun-tahun, Korindo telah menggunakan label eco-forestry dari FSC untuk menyembunyikan praktik-praktik destruktifnya. Korindo menjual kayu, kayu lapis, bubur kayu, biomassa, dan kertas koran kepada sejumlah pelanggan seperti Asia Pulp & Paper (Indonesia), APRIL (Indonesia), Sumitomo Forestry (Jepang), Oji Corporation (Jepang), Marubeni (Jepang), dan News Corps Australia.
Hari ini, FSC menyimpulkan bahwa Korindo telah melanggar ‘Policy for Association’ (Pfa) dan memberlakukan serangkaian tindakan untuk mengatasi kerusakan parah yang disebabkan oleh perusahaan tersebut. Karena pelanggaran ini, FSC mengancam akan memutuskan hubungan (diasosiasi) dengan Korindo dan mencabut semua sertifikasinya. FSC juga mewajibkan Korindo untuk menghentikan semua aksi konversi hutan dan deforestasi, mendapatkan sertifikasi FSC dalam semua aktivitas kehutanan perusahaan dan mematuhi prinsip FPIC [Free Prior and Informed Consent]. Selain itu, Korindo diharuskan untuk mengevaluasi semua dampak negatif dan memulihkan lahan yang telah mereka rusak.”
Deborah Lapidus, Senior Campaigns Director untuk Mighty Earth, memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Dengan ini, kami berharap Korindo akan mengakhiri praktik penyalahgunaan hak-hak masyarakat setempat dan penghancuran wilayah hutan hujan. Meskipun demikian, keberhasilan atau kegagalan langkah ini tergantung pada komitmen yang dibuat oleh Korindo untuk memulihkan dampak kerusakan pada masyarakat, hutan, dan ekosistem di Papua dan Maluku Utara. Persyaratan remediasi juga harus ditentukan setelah melakukan dialog dengan masyarakat sekitar yang terkena dampak, dan tidak ditetapkan secara sepihak oleh Korindo yang pastinya berupaya untuk meminimalisasi tanggung jawabnya.
Melalui investigasinya, FSC telah memverifikasi bukti-bukti yang dikumpulkan oleh Mighty Earth dan menyatakan bahwa Korindo bersalah sebagaimana dituduhkan. Dengan melakukan deforestasi berskala besar (lebih dari 30.000 hektar selama dua tahun sebelum pengaduan diajukan), menghancurkan habitat satwa liar dan melanggar hak-hak tradisional dan hak asasi manusia, Korindo telah melanggar standar FSC dan berpotensi untuk merusak nama baik FSC. Untuk menanggapi pelanggaran ini, FSC harus memastikan Korindo bertanggung jawab penuh atas perilaku buruknya.
Namun, sayang sekali FSC memilih untuk tidak merilis temuan lengkap dari ketiga investigasi tersebut. Penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan yang terkena dampak untuk membaca sendiri hasil temuan tersebut sebelum Korindo mampu memutarbalikkan fakta. Pernyataan FSC tidak menyoroti seberapa parah pelanggaran yang dilakukan Korindo serta menyalahartikan temuan Panel mengenai kebakaran hutan yang dilakukan perusahaan tersebut. Kami meminta FSC untuk merilis laporan mereka secara lengkap dan tanpa bias agar semua pihak dapat menilai keefektifan tindakan remediasi yang dilaksanakan oleh Korindo.”
Mighty Earth menyerukan kepada Korindo untuk mengembalikan tanah adat, menyelesaikan isu sosial dan menanggapi keluhan, memberikan kompensasi yang adil kepada masyarakat setempat atas hilangnya lahan, sumber daya alam, dan mata pencaharian mereka, serta memulihkan ekosistem yang rusak. Jumlah biaya yang wajib dikeluarkan Korindo dalam memulihkan suatu kawasan harus setara dengan kerusakan yang telah mereka lakukan selama dua dekade terakhir.
“Jika Korindo mampu memenuhi tanggung jawab mereka dan mengeluarkan ganti rugi sebesar ratusan juta dolar, maka tindakan FSC hari ini akan menjadi preseden yang kuat. Pengumuman yang dibuat FSC hari ini juga merupakan imbauan bagi sejumlah perusahaan lain, seperti Posco International yang juga beroperasi di Papua, untuk menghentikan dan menghilangkan praktik deforestasi pada lahan-lahan yang dimiliki masyarakat setempat.”
Mighty Earth menyerukan kepada FSC untuk melakukan penyelidikan baru terhadap sejumlah organisasi bersertifikasi FSC lainnya yang terlibat dalam praktik deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu, Mighty Earth baru-baru ini mengajukan pengaduan baru terhadap KTS Group atas pelanggaran berkelanjutan yang dilakukan organisasi tersebut terhadap Policy for Association FSC. Pengaduan tersebut juga menyertakan bukti bahwa bisnis kelapa sawit KTS, BLD Plantation, telah menebangi lebih dari 10.000 hektar hutan gambut yang kaya akan karbon di Sarawak (Malaysia) dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan juga telah melanggar berbagai hak masyarakat setempat. Pelanggan KTS meliputi dua perusahaan kertas terbesar Indonesia, Asia Pulp & Paper (APP) dan APRIL. Keduanya tercatat memiliki komitmen untuk mematuhi kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, dan
Tanpa Eksploitasi. FSC belum mengambil keputusan apa pun untuk menindaklanjuti pengaduan ini.
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka mengatakan: “Selama dua dekade, Korindo telah banyak melanggar hak tanah secara diam-diam, sementara mereka bertingkah sebagai penyelamat bagi orang-orang Papua. Karena itu, masyarakat luas harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua dan Maluku Utara. FSC memiliki tanggung jawab untuk merilis semua temuannya secara lengkap.”
Pastor Anselmus Amo from SKP-KAMe Meruake menambahkan, “Korindo telah menghancurkan tanah dan mata pencaharian masyarakat, merampas sumber daya alam mereka, melakukan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap banyak orang, dan juga mencemari sungai. Tak hanya itu, semua ini mereka lakukan sembari merekrut tenaga kerja yang sebagian besar berasal dari luar Indonesia. Korindo juga belum serius melakukan pemberdayaan masyarakat dalam program CSR-nya. Kami berharap FSC mau berkonsultasi langsung dengan masyarakat setempat untuk memahami tindakan buruk Korindo serta pandangan mereka mengenai kompensasi yang adil dan langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan. Kami tentunya siap untuk membantu.”
***
Informasi lebih lanjut :
Alex Armstrong
Mighty Earth
Ayunda Putri
Image Dynamics
0812 200 1411 / 0897 7400 788 (WhatsApp only)
Penolakan Tak Terlihat Terhadap Bendungan 1.6 Milyar USD yang Mengancam Kelangsungan Spesies Orangutan Baru
Penolakan Tak Terlihat Terhadap Bendungan 1.6 Milyar USD yang Mengancam Kelangsungan Spesies Orangutan Baru
Warga lokal yang menentang pengembangan bendungan senilai 1.6 milyar USD dan proyek pembangkit listrik tenaga air di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, semakin berkembang menurut laporan dari sebuah misi pencarian fakta. Laporan itu mengatakan bahwa ada kekhawatiran yang berkembang tentang proyek di antara penduduk setempat, banyak dari mereka yang bergabung dengan penentang lama dari kelompok lingkungan lokal dan internasional dalam menyerukan agar proyek yang didanai oleh China tersebut dihentikan. Sementara itu, pengembang proyek North Sumatera Hydro Energy (NHSE) masih tetap berniat untuk menyelesaikan proyek pada tahun 2022 seperti yang direncanakan, meskipun ada pembangkit panas bumi terdekat yang dapat menyediakan lebih banyak listrik tanpa kerusakan lingkungan daripada bendungan yang telah di rencanakan.
Sejak pertama kali diumumkan pada tahun 2012, proyek ini telah menjadi sasaran kritik, terutama karena ancaman yang ditimbulkan oleh bendungan terhadap ekosistem hutan kawasan dan terhadap kelangsungan hidup, juga mata pencaharian ribuan penduduk di daerah tersebut. Perlawanan semakin meningkat, ketika diketahui bahwa kawasan hutan Batang Toru, lokasi proyek yang direncanakan juga merupakan rumah bagi spesies orang utan yang baru di identifikasi (Pongo Tapanuliensis), yang hidup secara eksklusif di hutan tersebut. Ilmuan konservasi terkemuka mengatakan, bahwa pembangunan bendungan di Sungai Batang Toru akan mematahkan habitat orangutan, dan membawa kepunahan spesies langka yang terancam punah ini, yang sekarang hanya tinggal sekitar 800 ekor.
Kerugian Secara Hukum
Penolakan baru-baru ini dikeluarkan oleh pengadilan Sumatera Utara atas gugatan yang di layangkan oleh Walhi, LSM Lingkungan terbesar di Indonesia, yang menentang pemerintah daerah karena mengabaikan bahaya lingkungan, ketika mengeluarkan izin untuk proyek, dan telah menimbulkan kecemasan baru di antara pendudukan setempat. Sejak itu terungkap bahwa perusahaan telah memalsukan tanda tangan seorang peneliti kehutanan pada pernyataan dampak lingkungan (AMDAL) ketika perusahaan itu meminta persetujuan untuk proyek tersebut. Namun demikian, proyek sudah dibuka dan sedang berjalan.
“Banyak orang yang sekarang merasa tidak berdaya dalam menghadapi kegagalan gugatan yang nantinya akan memihak mereka dalam masalah ini.” Kata seorang anggota tim pencari fakta, dia juga menambahkan bahwa ketakutan dan kecurigaan semakin meluas di kalangan penduduk setempat.
Perkembangan hukum ini telah membawa dorongan baru yang kontroversial, dengan banyaknya penduduk setempat sekarang yang bergabung dengan koalisi penentang proyek secara meluas, dan mengintensifkan upaya untuk membujuk pemerintah Indonesia dan mitranya dari Tiongkok, maupun mitranya dari Indonesia untuk menghentikan proyek.
Masuk ke dalam kontroversi, awal bulan ini The International Union for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah dan badan ahli masyarakat sipil terkemuka dalam konservasi spesies, secara terbuka menyerukan moratorium pada semua proyek yang berdampak pada “Orangutan Tapanuli yang terancam punah.” Pesan tersebut secara khusus ditujukan untuk mendesak penghentian proyek NSHE.
Penemuan Fakta
Dalam upaya untuk membawa kejelasan lebih lanjut tentang situasi ini, tim pencari fakta, yang dipimpin oleh Center for Orangutan Protection (CoP) (yang diminta oleh Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) baru-baru ini melakukan penyelidikan di lokasi, daerah Simarboru (Sipirok, Marancar dan Batangtoru) di Tapanuli, Sumatera Utara. Misi utama tim pencari fakta adalah untuk menilai perasaan penduduk setempat yang tinggal di dekat lokasi proyek yang direncanakan; lalu tim pencari fakta sampai pada beberapa kesimpulan tentang sikap-sikap yang berlaku, yaitu:·
- Kekecewaan, Banyak penduduk yang tinggal di daerah Simarboru pada awalnya mendukung pengembangan proyek karena mereka dijanjikan akan banyak pekerjaan dalam pembangunan dan pemeliharaan pembangkit listrik. Namun, ternyata mayoritas warga telah ditolak untuk bekerja karena kurangnya kualifikasi kerja yang sesuai. Orang-orang ini sekarang sangat menentang proyek tersebut.·
- Penyesalan, Sementara, dukungan awal untuk proyek telah goyah. Banyak penduduk setempat sekarang enggan menyuarakan tentangan karena mereka telah menjual tanah mereka ke NSHE untuk “kompensasi minimum”.·
- Ketidakberdayaan, Ketakutan warga setempat semakin meningkat karena kegagalan gugatan Walhi, yang telah menumbuhkan perasaan bahwa mereka sedang menentang sebuah kepentingan yang sangat kuat.·
- Kebingungan, Banyak warga setempat mengatakan, mereka tidak sepenuhnya diberi tahu tentang kemungkinan dampak lingkungan dari proyek, hal ini membuat mereka sedang dalam kebingungan tentang apa yang sudah mereka harapkan.·
- Ketakutan, Kekhawatiran terbesar bagi penduduk adalah ketakutan akan banjir yang menimpa rumah dan tanah pertanian mereka yang disebabkan bendungan tersebut. Menurut survei teknis, bendungan akan menyedot air sungai selama 18 jam sehari dan kemudian selama enam jam berikutnya ketika pintu air dibuka, akan terjadi banjir pada tanah pertanian di daerah tersebut. Beberapa ribu orang yang memiliki rumah dan mata pencaharian di lingkungan setempat akan terpengaruh oleh tindakan tersebut.
“Jelas dan terang bahwa perusahaan mengabaikan prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) yang merupakan hak masyarakat untuk mengatakan ‘ya dan bagaimana’ atau ‘tidak’ untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka. Hal ini berbasis pada hukum internasional dan hukum nasional di beberapa negara yang telah diperkuat melalui adopsi dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008,” ujar Hardi Baktiantoro, Founder & Principal CoP.
Sementara untuk masalah ketidakpuasan yang berkembang di antara penduduk setempat terutama masalah pribadi dan masalah lingkungan setempat, ada juga kekhawatiran internasional yang serius tentang dampak lingkungan dari proyek tersebut. Kekhawatiran ini terus-menerus diangkat oleh koalisi yang longgar dari berbagai NGO internasional dan domestik, termasuk Mighty Earth, The Ape Alliance, dan Program Lingkungan PBB, lalu secara domestik Orangutan Information Centre (OIC), Centre for Orangutan Protection (CoP), dan Sumatera Orangutan Conservation Program (SOCP).
Berikut, adalah masalah utama. Diantaranya :
- Kepunahan, Kepunahan spesies orangutan Tapanuli yang langka segera terjadi karena fraktur habitat hutan mereka akibat pembangunan bendungan.· Ancaman, Ekosistem Batang Toru juga merupakan rumah bagi Harimau Sumatera yang terancam punah, trenggiling, dan rangkong bertanduk, beruang madu, tapir, serow, dan sejumlah spesies langka lainnya, termasuk lebih dari 300 spesies burung.
- Gempa Bumi, Resiko potensial terhadap nyawa dan harta benda dari pembangunan bendungan di daerah rawan gempa yang sudah diketahui terletak pada patahan tektonik. Konstruksi terowongan yang direncanakan untuk proyek juga dapat memperburuk resiko dan mengganggu aktivitas tektonik.
- Kemungkinan, Untuk sementara proyek ini akan membahayakan bagi manusia dan satwa liar di daerah tersebut, sebenarnya penelitian menunjukan adanya opsi yang lebih layak untuk menghasilkan tenaga listrik di daerah tersebut, terutama sumber panas bumi, termasuk perluasan Pembangkit Panas Bumi Sarasulla yang sudah ada sebelumnya·
- Ekosistem, Penataan kembali populasi lokal yang akan mengubah ekosistem kuno daerah tersebut sehingga menimbulkan resiko perubahan lingkungan jangka panjang yang merusak.
Bahan Internasional
Bank of China dan Pemerintah Tiongkok telah menunjukkan minat untuk mendukung proyek ini secara finansial. Sejak awal, masyarakat di Indonesia menargetkan pemerintah Tiongkok dalam upaya untuk mencegah mereka berpartisipasi dalam proyek. Sebuah surat terbuka tahun lalu yang dikirim ke kedutaan Tiongkok di Jakarta menjabarkan kekhawatiran tersebut, meminta pejabat kedutaan untuk memfasilitasi pembicaraan dengan investor dan penyandang dana proyek Tiongkok untuk membuat mereka sadar akan risiko lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh proyek.
“Kami percaya bahwa setiap investasi asing di negara kami, baik dari Tiongkok atau dari negara lain, tidak boleh berkontribusi terhadap erosi, mata pencaharian orang dan yang lebih penting lagi adalah kepunahan spesies yang terancam punah,” isi dari surat tersebut.
Sebagai akibatnya, telah terjadi dialog besar-besaran antara Jakarta, Beijing dan organisasi konservasi internasional mengenai bagaimana melanjutkan proyek ini. Lima tahun sejak pendiriannya, Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok, di mana proyek ini merupakan produk mereka, telah menjadi subyek kontroversi internasional yang cukup besar.
Sementara itu, masyarakat yang terkena dampak dan pelestari lingkungan terus bekerja untuk membujuk pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali posisinya untuk bergerak maju dengan perkembangannya. Sebuah petisi online telah diposting untuk mencari dukungan domestik dan internasional untuk menyerukan penghentian pembangunan tersebut yang dapat diakses di tautan.
Sementara suara masih dihitung dari pemilihan presiden Indonesia baru-baru ini, diharapkan siapa pun pemenangnya akan bersedia untuk melihat lagi dampak negatif yang potensial dari proyek ini. Juga diharapkan bahwa slogan “Wonderful Indonesia” dapat berubah dari tagline kampanye wisata menjadi upaya nyata untuk mengambil kesempatan ini untuk menyelamatkan spesies orangutan Tapanuli yang terancam punah dan sebagai gantinya, mengabadikan kera besar yang luar biasa ini sebagai simbol dari Warisan nasional Indonesia yang unik.
“Pada dasarnya yang kami perjuangkan ini bukan semata-mata kepentingan kami saja. Ada ratusan ekor species langka dan dilindungi di seluruh dunia yang terancam punah, keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan sungai batangtoru, dan ribuan masyarakat yang akan merasakan dampak buruk akibat kelalaian dan pengabaian perusahaan serta pihak2 terkait dengan membangun megaproyek di area ini. Kami menunggu respon daripemerintah juga, langkah apa yang akan dilakukan untuk melindungi harta kekayaan Indonesia ini,” Panut Hadisiwoyo, Founder Director Orangutan Information Center (OIC) menambahkan. (*)
Koalisi Indonesia mendesak Pemerintah Untuk Menyelamatkan Orangutan Tapanuli, Melindungi “Wonderful Indonesia”
Koalisi Indonesia mendesak Pemerintah Untuk Menyelamatkan Orangutan Tapanuli, Melindungi “Wonderful Indonesia”
Proyek waduk kontroversial senilai 1,6 juta dolar yang didukung Tiongkok dan Dharmawangsa Group mengancam kepunahan species langka Pongo tapanuliensis orangutan
JAKARTA, 5 Maret 2019 – Sudah dipastikan akan terjadi pertikaian panjang demi menyelamatkan spesies orangutan langka yang baru saja ditemukan dari kepunahan di tangan proyek waduk seharga 1.6 juta US Dollar. Kemarin, Pengadilan Negeri di Medan memutuskan bahwa situasi ini tidak menghentikan pembangunan waduk. Melihat hal tersebut, koalisi internasional organisasi dan pemimpin Indonesia memohon pada pemerintah agar membatalkan proyek tersebut dan menjaga ekosistem di sana untuk jangka panjang.
Waduk yang akan dibangun di Sungai Batang Toru, Sumatera Utara bersama perusahaan hydroelectric raksasa dari Tiongkok, Sinohydro dengan dana dari Bank of China ini mengancam spesies orangutan terbaru dan matapencaharian penduduk asli di sana.
Orangutan Tapanuli baru saja diidentifikasi sebagai spesies baru tahun 2017. Mereka merupakan spesies kera besar ke tujuh di dunia. Terlepas dari itu, mereka sudah sangat dekat dengan bahaya kepunahan dan populasi hanya sekitar 800 ekor. Diperkirakan populasinya sudah hampir setengahnya sejak tahun 1985 and akan terus berkurang kecuali dilakukan perlindungan yang lebih komprehensif1.
Proyek PLTA seharga 1.6 juta dollar Amerika ini merupakan yang terbesar di Sumatra, pertama kali diumumkan di 2011 dan dijadwalkan selesai pada tahun 2022. Tapi waduk sudah direncanakan sebelum ditemukannya Orangutan Tapanuli. Hal ini menunjukkan bahwa proses perencanaan lingkungannya tidak memperhatikan bahaya punahnya spesies ini.
Kepemilikkan proyek ini diduga sebagai bagian dari Belt and Road Initiative milik China, juga tumpah tindih antara Indonesia dan Tiongkok, pendanaan dari Tiongkok dan perusahaan synohydro milik negara Tiongkok.
“Investasi China ini dapat berpotensi membawa manfaat, tapi proyek ini beresiko mengotori reputasi Belt and Road Initiative”, kata Panut Hadisiswoyo, Founding Director Pusat Informasi Orang Utan. “Kami berharap pemerintah China dapat dengan serius mempertimbangkan kembali proyek ini mengingat penemuan Orangutan Tapanuli: bisa dibayangkan proyek yang didanai pihak luar negeri mengancam Panda raksasa yang akan punah pernah disetujui?”.
Salah satu penerima manfaat dari waduk ini adalah tambang emas Martabe, yang saat ini digadang untuk mengembangkan habitat Orangutan Tapanuli. Tambang tersebut dimiliki oleh anak perusahaan konglomerat Inggris, Jardine Matheson yang pernah dikritik soal anak perusahaan sawitnya yang mengambil lahan habitat orangutan seluas 10.000 are.
“Jardine sudah memdapatkam keuntungan dari perusahaan hutan seluas 10.000 are dan sekarang akan menambang emas yang tentunya akan mempengaruhi kelangsungan hidup orangutan Tapanuli”, ujar Glenn Hurowitz, CEO Mighty Earth, sebuah organisasi yang sudah pernah sebelumnya mendesak Jardin untuk melindungi orang utan Tapanuli. “Siapapun tidak ingin mengenakam kalung emas ataupun cincin kawin yang menyebabkan terbunuhnya spesies langka.”
Perusahaan Dharma Hydro yang merupakan bagian dari Dharmawangsa Group memiliki hubungan dengan proyek ini; Dharma Hydro merupakan pemilik saham terbesar dari PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), perusahaan di balik proyek waduk tersebut. Ironisnya adalah walaupun pembangunan waduk ini akan membahayakan habitat kera besar terlangka di dunia, namun Dharmawangsa Group sedang menjual resort baru yg pengembangannya adalah sebagai ‘eco resort’.
Pengkajian lingkungan juga menemukan bahwa konstruksi dan operasi dari waduk dan PLTA ini akan mengancam kehidupan ribuan penduduk di hilir yang bergantung pada ekosistem sungai untuk bertahan hidup seperti memancing, pertanian, transportasi dan kebutuhan air sehari-hari.
“Pemerintah Indonesia menghabiskan jutaan dolar untuk mempromosikan harta kekayaan alam kita melalui kampanye Wonderful Indonesia”, kata Hardi Baktiantoro dari Pusat Perlindungan Orangutan, yang juga ikut bergabung di dalam wawancara terbatas. “Presiden Jokowi seharusnya melindungi investasi dengan cara menyalurkan investasi tersebut pada energi bertanggung jawab dan proyek infrastruktur yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan listrik kita, tapi juga dapat menjaga alam liar dan margasatwa Indonesia.”
Ini merupakan ancaman besar dengan keuntungan yang tidak setimpal. Dibandingkan dengan proyek hydro-energy lainnya di duni, proyek ini terhitung tidak menguntungkan jika membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan kentungan yang didapatkan. Ditambah lagi, area yang akan dibangun NSHE untuk waduk tersebut merupakan area dengan aktivitas geologis yang intensif yang beresiko tinggi gempa bumi dengan potensi bencamna berkelanjutan.
Beberapa laporan2 menyebutkan bahwa tidak ada kebutuhan mendesak dari energi NSHE. Alternatif produksi lainnya juga tersedia di area itu, contoh proyek geothermal MW Sarasulla yang memproduksi energi bersih dan dapat ditingkatkan menjadi 1000 MW jika dibutuhkan. Pengembangan dati alternatif ini dapat mengurangi resiko lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh proyek hydroelectric, memastikan keselamatan orangutan, keberlangsungan hidup orang banyak.
“Indonesia dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur dan energi yang dibutuhkan tanpa membahayakan orangutan atau sekedar membuang-buang uang dalam jumlah yang tidak sedikit di tanah Batang Toru. Banyak pilihan lain seperti panas bumi, energi matahari yang bahkan lebih kecil, lebih murah dan tidak merusak.” Kata Arrum dari Program Konservasi Orangutan Sumatra. “Pada akhirnya, masyarakat Indonesia lah yang akan membayar pinjaman besar ini di tagihan listrik kita.” (*)
Bukti Foto, Video, Citra Satelit Menunjukkan Penggunaan Api Secara Sistematis Oleh Korindo
“Info ini berharga buat kami untuk diskusi internal. Soal kebakaran memang betul, apa yang mau kami bantah,” kata Luwy, staf teknis lapangan Korindo Group yang datang bersama rekannya ke peluncuran laporan. – Kompas, September 2, 2016.
Sekalipun seorang staf teknis lapangan Korindo dalam acara konperensi pers mengaku bahwa perusahaannya memang benar menggunakan api ilegal dalam membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit seperti ditulis Kompas pada 2 September 2016, Korindo sekarang menyatakan di depan publik bahwa perusahaannya tidak menggunakan praktik berbahaya seperti ini. Akan tetapi, riset di lapangan, citra satelit dan drone mengungkapkan bukti komprehensif yang bertentangan dengan pernyataan tersebut.
Menurut sebuah laporan yang dibuat oleh kelompok riset AidEnvironment, citra-citra satelit menunjukkan bahwa penggunaan api secara sistematis yang dilakukan Korindo sangat mirip dengan proses pembukaan lahan. Korindo menggunakan api sebagai cara cepat dan murah untuk membersihkan biomasa yang terkandung di tanah setelah perusahaan ini menggunduli hutan untuk menyiapkan lahan penanaman kelapa sawit. Sebagaimana dilihat dari satelit dari satu konsesi ke konsesi lainnya, lokasi-lokasi titik panas mengikuti pengembangan lahan milik Korindo. Titik-titik panas itu terus bermunculan dengan pola yang dapat diprediksi di wilayah-wilayah terbaru yang baru saja dibuka Korindo untuk perkebunan. Pola yang jelas semacam ini berarti bahwa api tidak bisa disebut muncul secara alami atau disengaja oleh masyarakat lokal untuk berburu seperti yang dijadikan alasan oleh Korindo. Karena wilayah-wilayah yang terdampak selalu berpindah dari tahun ke tahun dan selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan Korindo.
Berikut ini hanyalah contoh kecil sebagai bukti atas deforestasi dan pembakaran yang dilakukan Korindo untuk kelapa sawit (untuk informasi lebih lanjut, lihat laporan selengkapnya).
Konsesi PT Donghin Prabhawa
Secara keseluruhan ada 351 titik panas yang terekam dalam PT DP yang tersebar selama kurun waktu 2013-2015 (43 diantaranya pada 2013, 144 pada 2014, dan 164 pada 2015). Biasanya api tersebut terjadi beberapa bulan kemudian setelah deforestasi sehingga makin memperjelas bahwa Korindo menggunakan api untuk membersihkan biomasa dari lahan untuk mempersiapkan penanaman perkebunan. Perlu diperhatikan pula bahwa hampir tidak ada api di wilayah berhutan yang ada di sekeliling pengembangan perkebunan. Selain itu, api juga tidak ada di wilayah-wilayah yang sudah ditanami kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa api terjadi selama proses pembukaan lahan.
Gambar-gambar berikut ini memperlihatkan titik-titik panas yang terekam selama 2013, 2014, dan 2015. Masing-masing ditumpuk dengan citra satelit berdasarkan urutan tahun. Wilayah-wilayah yang berwarna hijau muda merupakan wilayah yang terjadi pembukaan lahan yang baru saja terjadi ketika Korindo memperluas perkebunannya.
Konsesi PT Tunas Sawa Erma 1B
Anak perusahaan Korindo, PT Tunas Sawa Erma 1B (PT TSE 1B), yang memiliki wilayah konsesi seluas 19.000 hektar, mulai bekerja di Papua pada 2005. Ada 25 klan suku lokal yang mayoritas memiliki lahan tersebut dan menolak rencana perkebunan Korindo. Namun demikian, Korindo tetap melakukan pembukaan lahan di wilayah tersebut pada 2015.
Sebagaimana diperlihatkan pada citra satelit berikut, ada 88 titik panas yang terekam pada 2015 dan 6 titik panas pada Januari 2016. Pada akhir April 2015, sekitar 2.800 hektar telah dibuka.
Kebakaran besar yang dilakukan Korindo pada wilayah konsesi PT TSE 1B tampak jelas dalam citra satelit berikut yang diambil pada akhir Oktober 2015.
Warna coklat pada gambar yang diambil pada awal Mei 2016 berikut menunjukkan wilayah yang dibuka oleh Korindo dalam wilayah konsesi PT TSE 1B yang terdiri dari 500 hektar hutan primer dan 2.300 hektar hutan sekunder.
Konsesi PT Berkat Cipta Abadi 1
Seluruh wilayah konsesi PT BCA 1 masih berhutan sebelum Korindo mulai mengoperasikan kelapa sawitnya. Selama 2013 dan 2014, total ada 4.500 hektar hutan primer yang dibuka bersamaan dengan 8.700 hektar hutan sekunder. Yang tersisa hanya koridor sungai seluas 700 hektar seperti terlihat pada gambar berikut.
Pembangunan lahan dimulai dari utara dan berakhir di selatan. Titik panas mengikuti deforestasi dan pengembangan lahan yang dilakukan seperti dapat dilihat pada grafik berikut. Secara keseluruhan, ada 106 titik panas yang terekam pada 2013 dan 2014. Pembakaran hutan dianggap ilegal menurut hukum di Indonesia. Selain itu, Kementerian Kehutanan Indonesia secara khusus juga melarang PT BCA untuk membakar sisa kayu. Korindo mengabaikan peringatan keras tersebut dan tak mengindahkan kenyataan bahwa api mereka ilegal. Sebaliknya mereka tetap melakukan pembakaran.
Gambar berikut menunjukkan sebaran titik panas yang membentang dari utara ke selatan pada 213 dan 2014 pada saat Korindo membuka lahan. Sekali lagi, pola api sangat mirip dengan pengembangan lahan yang dilakukan Korindo, sehingga menggambarkan bahwa api tersebut bukan muncul secara alami.
Terlepas dari sifatnya yang sangat destruktif terhadap keragaman hayati dan lingkungan, api-api ilegal tersebut juga sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia. Kajian yang baru saja dilakukan oleh para peneliti dari Harvard dan Columbia menemukan bahwa krisis asap pada 2015 di Asia Tenggara besar kemungkinan telah menyebabkan 103.000 kematian prematur di wilayah tersebut. Krisis tersebut disebabkan oleh api ilegal yang sengaja dibuat untuk bisnis kayu dan kelapa sawit. Menurut pihak otoritas di Indonesia, diperkirakan setengah juta penduduk di Indonesia melakukan pengobatan karena kabut asap yang terjadi pada 2015. Menurut Bank Dunia, Indonesia harus menanggung kerugian senilai 16 miliar dollar Amerika yang ditimbulkan dari sektor pertanian, travel, pariwisata, kehutanan, dan industri-industri lain akibat krisis asap tersebut.
Melakukan pembakaran untuk membuka hutan juga dianggap ilegal dan dilarang di Indonesia, antara lain menurut Undang-Undang No. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Mereka yang terbukti bersalah melanggar peraturan ini dapat dikenai sanksi denda atau dipenjarakan. Temuan-temuan dari investigasi ini telah disampaikan ke pemerintah Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan akan melakukan investigasi.
Selain api, Mighty report memperlihatkan gambar, video, dan foto-foto udara yang diambil dari drone mengenai deforestasi luar biasa yang dilakukan oleh Korindo. Bahkan video promosi milik Korindo tentang bisnis kayu lapis miliknya memperlihatkan deforestasi, gergaji yang memotong kayu-kayu yang sudah tua, dan membual tentang pembukaan hutan alam. Hutan hujan di Papua memiliki 50 persen keragaman hayati dari negara kepulauan seperti Indonesia. Pemusnahan yang dilakukan Korindo terhadap hutan-hutan yang kaya seperti ini telah mengakibatkan kehancuran habitat spesies endemik di wilayah tersebut. Secara keseluruhan, perusahaan ini telah membuka lebih dari 50.000 hektar hutan di Papua demi kelapa sawit sejak 1998. Luasan ini setara dengan luas Seoul, Korea Selatan.
Produksi minyak sawit yang bertanggung jawab itu tetap mungkin untuk dilakukan. Industri minyak sawit masih harus menempuh perjalanan panjang dan Korindo menjadi salah satu dari pelaku pelanggaran yang terparah. Tapi masih banyak perusahaan yang menunjukkan komitmen untuk tidak melakukan deforestasi dan eksploitasi demi kelapa sawit. Ini termasuk perusahaan-perusahaan yang melepaskan Korindo sebagai penyuplai mereka karena dianggap melanggar kebijakan-kebijakan mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut memperlihatkan bahwa produksi yang bertanggung jawab dan keuntungan pun dapat berjalan beriringan. Demi hutan-hutan di Papua, masyarakat adat, dan margasatwa, kita berharap bahwa Korindo akan berubah menjadi Sekarang Hijau (Green Today), bukannya “Besok Hijau” (Green Tomorrow).
Featured photo is of smoke rising from burning wood rows in Korindo’s PT Berkat Cipta Abadi concession; ©Ardiles Rante/Greenpeace; 26 March 2013